Page 82 - TOKOH PEMIKIR KARAKTER BANGSA
P. 82

TOKOH PEMIKIR KARAKTER BANGSA



                (Opleidingscholen  voor  Inlandsche  Ambtenaren).  Sekolah  ini
                kemudian  dibuka  untuk  rakyat  Hindia  Belanda,  tidak  hanya  khusus
                bagi  elit  aristokrat,  dengan  syarat  mereka  telah  menyelesaikan
                Sekolah  Rendah  Eropa.  Pada  tahun  1900-2,  Sekolah  Dokter-Jawa  di
                Weltreveden juga diubah menjadi STOVIA (School tot Opleiding van
                                                                               3
                Inlandsche Artsen), sekolah untuk pelatihan para dokter pribumi.
                       Dengan mereorganisasi sekolah-sekolah tersebut, Abendanon
                berusaha  memperlebar  kesempatan  bagi  rakyat  biasa  di  Hindia
                Belanda  untuk  mengikuti  sekolah-sekolah  Belanda.  Dia  bahkan
                menghapuskan iuran bagi orang tua yang pendapatannya di bawah
                50 gulden per bulan. Reformasi pendidikan yang dia cetuskan terus
                berkembang.  Pada  1917,  pemerintah  membangun  kembali  di
                antaranya  Sekolah  Kelas  Pertama  menjadi  Hollandsch-Inlandsche
                School  (HIS).  Meski  masih  ditujukan  bagi  elit  Hindia  Belanda,  HIS
                secara  resmi  menjadi  bagian  sistem  pendidikan  Eropa,  dengan
                bahasa  Belanda  sebagai  bahasa  pengantarnya. Di  atas  HIS,  Belanda
                mendirikan  MULO  (Meer  uitgebreid  lager  onderwijs),  sehingga para
                pelajar Hindia Belanda dapat memiliki kedudukan yang sama seperti
                orang  Belanda  dan  orang  Cina  yang  telah  mendirikan  lembaga
                mereka sendiri, Hollandsch-Chineesch School. Pada tahun 1919, AMS
                (Algemene middelbare scholen) didirikan dalam rangka menyediakan
                tingkat  pendidikan  yang  lebih  tinggi  bagi  para  pelajar.  Namun
                demikian, untuk tingkat universitas, para pelajar tersebut harus pergi
                            4
                ke Belanda.
                       Dengan  berdirinya  sekolah-sekolah  tersebut,  jumlah  rakyat
                Hindia  Belanda  yang  terdidik  di  sekolah-sekolah  Barat    meningkat,
                dari  hanya  269.940  pada  tahun  1900  menjadi  1,7  juta  pada  tahun
                1930-an.  Jumlah  ini  tentu  saja  tidak  signifikan  jika  dibandingkan
                dengan total penduduk Hindia Belanda. Jumlah rakyat yang terdidik
                mencapai tidak lebih dari 3 persen. Hanya saja, reformasi etis dalam
                bidang  pendidikan  telah  menciptakan  sebuah  lapisan  baru  dalam
                masyarakat  Hindia  Belanda  yang  akrab  dengan  modernitas,  yang
                disebut sebagai “elite Indonesia modern”. Mereka berbeda dari elit





                70
   77   78   79   80   81   82   83   84   85   86   87