Page 40 - Filsafat Pendidikan Vokasi dan Kejuruan - Amran Amiruddin
P. 40
Pendidikan kejuruan juga tidak dapat mengabaikan
kebutuhan praktis masyarakat, agar tidak dikatakan
disfungsi dan tidak memiliki konsekuansi praktis.
Pragmatisme sebagaimana definisi Miller,
menyeimbangkan kedua filosofi esensilisme dan
eksistensialisme dan memberi ruang ide baru yang
praktis. Pragmatisme tanggap terhadap
perkembangan inovasi-inovasi program seperti tech-
prep yang menyediakan pendidikan kejuruan/vokasi
bertemu dengan kebutuhan tuntutan tempat kerja.
Praktisi pendidikan untuk dunia kerja (education-for-
work) dapat menerapkan filosofi pragmatisme atau
dipadukan dengan filosofi esensialisme dan
eksistensialisme untuk merefleksikan kegiatan dalam
membentuk atau mengadopsi visi lembaganya
(Strom, 2006).
Menurut Tilaar (2002:91) pendidikan adalah
sarana penting dalam pembentukan kapital sosial.
Pengembangan pendidikan memerlukan
pengetahuan organisasi sosial, adat istiadat setempat
dimana peserta didik hidup dan berkembang. Dalam
gempuran budaya global pendidikan kejuruan harus
memiliki arah yang jelas, identitas dan pegangan
yang kuat. Konsep pendidikan kejuruan dalam
konteks Indonesia dapat ditelusur dari pemikiran-
pemikiran Ki Hadjar Dewantara dengan ungkapan
“ngelmu tanpa laku kothong, laku tanpa ngelmu
cupet” yang bermakna ilmu tanpa ketrampilan
menerapkan adalah kosong, sebaliknya ketrampilan
tanpa ilmu/teori pendukung menjadi kerdil
(Hadiwaratama, 2005).
Kecocokan “matching” manusia dengan
pekerjaan merupakan dasar philosophy pendidikan
vokasi. Pengembangan pendidikan vokasi diawali
33