Page 3 - Keterbukaan Informasi Dalam Konteks Pemantapan Ideologi Negara- deerwan ismidi
P. 3
wilayah kekuasaan suatu negeri, tetapi ikatan ini hilang begitu saja ketika keadaan
sudah kembali damai dan terbebas dari ancaman musuh. Ikatan nasionalisme yang
seperti ini saya menyebutnya Ikatan nasionalisme sempit.
Semangat juang para pahlawan negeri ini pun mustahil menganut ikatan
kesukuan (sukuisme). Bisa juga ikatan seperti ini disebut dengan ikatan kekeuargaan
atau fanatisme golongan. Kalaulah ikatan ini menjadi latar belakang para pejuang
mempertahankan kedaulatan NKRI maka bias kita membayangkan hal apa yang akan
terjadi. Setiap suku yang ada di negeri ini saling bersaing untuk memperoleh kekuasaan
serta menyibukkan anggota keluarganya sendiri untuk melawan penjajahan, untuk
menunjukkan bahwa merekalah yang paling hebat. Maka sekali lagi saya pastikan
rakyat Indonesia mustahil menganut pemahaman semacam ini, karena ini juga berarti
menerapkan budaya taupun ikatan yang dianut oleh kehidupan binatang-bintang di
hutan rimba, spesies mana yang paling kuat maka itulah yang berkuasa dan mempunyai
wewenang atas wilayah rimba.
Konstitusi tertinggi dalam kehidupan ini adalah “berketuhanan”. Dengan
berketuhanan, manusia tahu bagaimana cara berfikir yang rasional, logis dan
menggunakan akal sehat sebagai manusia yang paling beradab. Hukum-hukum yang
dibuat pun tentunya harus mengikuti pedoman-pedoman berketuhanan. Sebagai
manual intstruction dalam memberikan kebijakkan-kebikajjan dalam bernegara.
Seperti yang sudah dijelaskan di awal artikel ini bahwa pemantapan
ideologi Negara tidak boleh bertentangan dengan ke-enam agama yang sah di Negara
ini. Karena, agama adalah fondasi terkuat rakyat dalam membentuk Negara yang
berdaulat. Yang berarti, ideologi yang baik tentu akan melahirkan rumusan-
rumusan undang-undang yang baik pula dan tentunya tidak akan bertentangan dengan
nilai-nilai agama. Karena sekali lagi, semangat juang para pendiri bangsa ini rela mati
untuk Negara yang semangat itu hanya akan didapat jika agama menjadi latar
belakangnya.
Pada dua tahun belakangan ini saya sebagai penulis merasakan bahwa
sebenarnya Negara ini tidak sedang baik-baik saja. Dikarenakan ada banyak kebijakan-
kebijakkan dari pemerintah yang bertolak-belakang dengan nilai-nilai agama. Contoh
: melegalkan LGBT. Sila yang pertama adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kalau
dilansir dari ke-enam agama yang sah di Indonesia, agama manakah yang mengajarkan
LGBT? Apakah ada? Saya belum menemukan maklumatnya.
Ideologi bangsa ini sepertinya kembali digerogoti oleh pemikiran-pemikiran
sekulerisme, liberalisme, dan lain sebagainya. Apakah ini sebuah blunder daripada
sistem demokrasi yang terlampau bebas-sebebasnya? Saya rasa tak juga begitu adanya.
Saya pikir inilah bentuk penyakit pikiran-pikiran yang gagal paham tentang ideologi
Pancasila yang sebenarnya. Contoh kasus yang terjadi pada Cania Citta dalam acara
Indonesia Lawyers Club mengatakan bahwa “Tidak ada berkewajiban bertuhan dalam
Pancasila”, ini tentu kegagalan paham terhadap sila pertama dari Pancasila. Hal ini
mungkin bisa terjadi kepada setiap orang karena Pancasila menurut saya adalah
ideologi yang terbuka. Pancasila memiliki dimensi fleksibilitas atau dimensi