Page 84 - e-modul bh.Indonesia SMPMuh.Rappang9
P. 84

MODUL 2

                terkena TBC akut Pa, aku harus menolongnya,” katanya ketika kami tinggal di daerah
                pedalaman  Papua,  tepatnya  di  Agat  sana   saat  ia  bertugas  sebagai  dokter
                Puskesmas  di  desa  itu.   Di  lain  waktu,  dia  berkata,  “Kasihan  gadis  itu,  aku  harus
                menolongnya, di saat-saat terakhir  HIV-AIDS hendak merenggut jiwanya.”  Atau  di
                saat yang berbeda dia bilang begini, “Pa, andai endemi flu burung ini menyerangku
                juga,  kau  jangan  menangis  bila  aku  tiada.  Hidupku  untuk  mengabdi  pada
                kemanusiaan.  Kau  jaga  dan  besarkan  anak-anak  kita  hingga  mereka  menjadi
                manusia yang berguna untuk bangsa dan negara.”

                      Gila! Aku menikahi perempuan spartan dengan membawa misi kemanusiaan
                yang benar-benar gila. Marini, terbuat dari apa hatimu hingga kau menjadi manusia
                setangguh itu? Aku kembali menatap bintang-bintang di langit, bulan mulai redup,
                awan  hitam  berangsur  akan  menutupi  sinarnya.  Seharusnya  sinar  dan  seluruh
                kedamaian yang diberikan langit pada bumi dapat menenangkan perasaanku yang
                gulana. Cintaku yang tak terkira pada Marini, isteriku, harus kusadari dengan nalar
                terbuka  bahwa,  memiliki  tak  harus  menguasai.  Tuhanlah  yang  menjadi  penguasa
                atas manusia dan juga bumi, juga seperti  kata filsuf Aljazair pujaanku Albert Camus
                bahwa ‘Hidup ini absurd, tidak untuk dijelaskan tetapi untuk dipahami”

                      Maka  tatkala  bungsuku  kembali  merengek  menanyakan  mengapa  Mamanya
                belum juga pulang, di balik air mata yang mulai mengering, aku menghibur sambil
                mengusap kepalanya, “Mama pasti pulang sayang...”

                Diolah dari https://cakradunia.co/news/mama-pasti-pulang-sayang/index.html


               Teks 2

                                             Semilir Deras Angin Tapanuli
                                                    Gabriella Alvita

                          Semerbak bau busuk menusuk seakan ingin menyelinap kedua lubang hidung
                kecilku.  Ribuan  insan  lalat  dan  semut  nakal  menggerogotiku  seakan  akulah
                mangsanya.  Aku  mencondongkan  sedikit  tubuhku  ke  depan  dan  mensejajarkan
                wajahku dengan matahari yang dari atas sana bersukaria karena melihatku masuk
                jatuh  dalam  alunan  kepanasannya.  Kotak  hitam  misteri  puluhan  tahun  lalu  yang
                terkubur mulai menampakkan dirinya. Perlahan kumelihat susunan kerangka putih
                pucat yang telah di gerogoti. Tubuhku sontak melangkah mundur seraya tak kuat
                melihat pertunjukkan gratis nan membuatku takut ini.
                          Peristiwa  diracik  dengan  kemasan  yang  bagus  puluhan  tahun  lalu  dan
                dipasarkan  keluargaku  menjadi  nyata.  Aku  bak  kapal  yang  terombang-ambing
                derasnya amarah laut dan tak dapat melihat arah. Aku melakukan segala sesuatu
                layaknya binatang anjing yang mematuhi arahan tuannya, karena aku tak tahu apa
                yang harus kulakukan.
                “ Ma, kita dimana? “  “ Ma…Ma..” kuterus melontarkan kata demi kata yang sama, aku
                tak tahu aku ada dimana. Aku hanya mengingat aku dan sekelompok manusia, yang
                kuketahui  adalah  keluargaku  pergi  ke  tempat  parikiran  kapal  terbang  dan  pergi
                meluncur  heningnya awan permai.  Pada saat  tiba waktunya  akupun tahu  bahwa


                                                           74
   79   80   81   82   83   84   85   86   87   88   89