Page 85 - e-modul bh.Indonesia SMPMuh.Rappang9
P. 85

MODUL 2

                kami  akan  ke  Medan  tepatnya  Tapanuli  Utara  dan  menuju  ke  salah  satu  tempat
                kampong bernama “Siborong-borong” tempat ayahku menatap indahnya bumi dan
                melihat kegemerlapan malam. Aku mulai menyesuaikan diriku dengan tempat ini,
                tempat yang asri, budaya yang sangat pekat dan kental dan keramahan.
                            Namun,  ada  sesuatu  yang  ganjal  dihati,  ada  seperti  yang  mengikutiku
                kemanapun  aku  pergi,  taka  da  yang  ta  akan  apa  yang  terjadi  pada  diriku  saat  itu
                karena aku tak mau siapapun tau. Wujud itu sepertinya tak terlihat, melayang, dan
                menciptakan  hawa-hawa  kehidupan  yang  sangat  berbeda  dengan  kita.  Aku  tak
                pernah merasakan ini sebelumnya. Aku tahu ada yang tak benar dalam diriku dan
                sosok  itu.  Ingin  sekali  rasanya  aku  menjauhi  wujud  itu,  tapi  rasanya  aku  sudah
                terikat dan tergembok. Setiap aku inginmelaporkan kejadian ini, seperti ada yang
                menarikku untuk tetap berdiam diri dan rasakan kehebatan yang ia buat.
                            Apa yang kualami itu sebenarnya adalah deras angin di Tapanuli, kalau kamu
                mengira  itu  adalah  makhluk  lain  dari  dunia  berbeda  dengan  kita  kamu  salah,  itu
                adalah  angin.  Berhembus  seraya  menembus  dengan  saangat  kencang,  menusuk
                setiap  inci  tubuhku,  aku  tak  pernah  merasakan  angin  yang  sejuk  itu  di  Jakarta,
                sepertinya  hanya  di  Siborong-borong  aku  rasakan  angin  sejuk  seperti  itu.  Udara
                semakin  melonjak  mengeluarkan  kedinginannya  saat  matahari  enggan
                menampakkan  wajahnya.  Rasanya  seperti  aku  tinggal  ditempat  bersalju  namun
                bagian Sumatera.
                          Acara di Siborong-borong untuk memindahkan tulang belulang kakek nenekku
                dari  Jakarta  ke  kampung  dan  disatukan  dengan  para  leluhurnya  dalam  suatu
                bangunan rumah kecil, itu adalah salah satu budaya suku Batak.

                Aku belajar banyak dari orangtuaku tentang budaya Batak.
                         Ritual  budaya  seperti  ini  ada  setelah  seseorang  sepuluh  tahun  pergi
                meninggalkan dunia. Aku tiba di di kampung pukul lima pagi dan acara pukul tujuh
                pagi,  jadi  kami  langsung  ke  sebuah  rumah  panggung  tempat  kediaman  keluarga
                kami di kampung yang kami sebut sebagai “Nyamane”. Saat sampai di Nyamane aku
                langsung beristirahat, beberapa keluarga dan saudaraku ada yang bermain-main
                ada yang langsung mempersiapkan diri untuk acara.  Aku mengaku bahwa aku tak
                terlalu  serius  dalam  mengikuti  acara  ini,  karena  aku  tak  mengerti  bahsa  batak,
                bahasa yang digunakan jutaan umat suku Batak, khususnya di wilayah Sumatera
                Utara.
                          Acara di tempat ini sama seperti ketika aku melihat kotak hitam misteri di awal
                ceritaku.  Matahari  dengan  bangga  menampakkan  dirinya,  bersahut-sahutan
                dengan angin deras yang melanda. Saat pemindahan tulang-belulag itupun sangat
                sunyi, karena semua orang menghargai dan menghayati peristiwa tersebut.
                      Namun, di awalnya ada seperti puji-pujian, aku tak mengerti apa maksudnya
                                                                                              .
                memuju benda tulang seperti itu. Peristiwa itu disebut  “ Mangukol-Holi” Aku pun
                baru  tahu  ada  tradisi  seperti  ini  setelah  diberitahu  orangtuaku.  Sesudah
                memindahkan  tulang-belulang,  kami  langsung  meluncur  ke  salah  satu  tempat
                makan  terdekat  karena  perut  kami  bergelojak  dan  cacing  caing  diperut  sudah
                berteriak  dengan  ricuh  meminta  jatahnya.  Setelah  itu,  kami  kembali  lagi  ke
                Nyamane.  Aku  seperti  mengalami  mesin  waktu  saat  tinggal  di  Nyamane.
                Pemandangan yang asri, para warga kampung yang tetap ramah pada pendatang
                baru seperti kami, semua terlihat sanagt alami dan belum terjamah tangan-tangan
                nakal orang yang tak bertanggungjawab.


                                                           75
   80   81   82   83   84   85   86   87   88   89   90