Page 58 - SEJARAH KEBUDAYAAAN MALUKU
P. 58
ketiga yang padat penduduknya itu pula yang wajib setiap saat
menyediakanjuangga atau kora-kora untuk Hongi kerajaan.
Keadaan tersebut sangat berbeda dengan para penguasa di
wilayah konsentrik keempat yang sering juga dinamakan
sangaji. Mereka tidak mengambil bagian dalam Hongi, tetapi
didatangi Hongi kerajaan dengan tujuan mengumpulkan Upeti
dari wilayah-wilayah itu. Jadi para sangaji di wilayah
konsentrik keempat tidak memiliki hubungan patron-client
dengan kedaton; mereka hanya menjadi daerah jajahan yang
wajib menyerahkan upeti.
Kenyataan bahwa Upeti di wilayah konsentrik keempat itu
dikumpulkan dengan paksa (melalui Hongi) merupakan
perbedaan yang sangat berarti dengan wilayah-wilayah
konsentrik lainnya. Dalam wilayah konsentrik lain terse but para
sangaji yang bersangkutan bersama para penguasa negerinya
yang membawa Upeti itu ke kedaton, dan biasanya mereka
mendapat imbalan tertentu dari kedaton. (Leirissa, 1996).
Kapan tepatnya sistem kekuasaan tersebut muncul di
Maluku Utara tidak terlalu jelas. Menurut berbagai buku
sejarah tradisional yang ditulis dalam abad ke-19 (Hikayat),
dalam abad ke-13 telah ada seorang penguasa (kolano) yang
be mama "Baab Mansur Malamo", sedangkan keempat kerajaan
tersebut baru muncul sejak abad ke-14. Prof. Lapian
memperkirakan bahwa kerajaan yang tertua itu adalah Bacan
dengan jangkauan kekuasaan yang sangat luas. (Lapian,
1994 : 11--22).
Suatu hal yang dapat dikatakan dengan pasti adalah bahwa
sejak abad ke-17 sistem kekuasaan tersebut di atas menjadi
baku dan kaku. Melalui dukungan VOC yang berkepentingan
mempertahankan larangan perdagangan rempah-rempah di
wilayah itu, para sultan ketiga kerajaan tersebut makin lama
makin memperkokoh kekuasaannya, dan dengan demikian pula
makin membakukan sistem pemerintahan tersebut. Baru sejak
bagian kedua dari abad ke-19 mulai muncul sistem birokrasi
Belanda yang sedikit banyaknya mempertahankan pula
struktur kekuasaan yang telah ada.
43