Page 59 - SEJARAH KEBUDAYAAAN MALUKU
P. 59
Permasalahan Iain yang patut dipertanyakan adalah
bagaimana, atau dengan cara apa, ekspansi kerajaan-kerajaan
itu dilakukan, dan bagaimana kekuasaan kedua kerajaan utama
itu (Ternate dan Tidore) ditegakkan di wilayah ekspansinya.
Jawaban atas pertanyaan itu memerlukan penelitian yang
lebih mendalam. Dari data yang bisa diungkapkan dapat
disimpulkan bahwa kaitan antara armada kerajaan (disebut
hongi di sini) dan upeti dan tenaga kerja merupakan jaringan
struktural yang bisa menjelaskan masalah ini. Wilayah Maluku
disebut sebagai wilayah Maritim karena, terutama dalam zaman
Iampau, pemukiman penduduk Iebih banyak memusat pada
wilayah pesisir. Pulau-pulau yang pada umumnya merupakan
puncak dari gunung-gunung berapi itu tidak memungkinkan
penduduk membangun pemukiman di pegunungan.
Pemukiman di pantai-pantai juga hanya terdapat di tempat-
tempat di mana garis pantai agak melebar. (Leirissa 1996).
Sebab itu pula komunikasi antar pemukiman lebih banyak
dilakukan melalui laut dengan menggunakan perahu. Dengan
demikian tidaklah mengherankan kalau budaya maritim
merupakan salah satu unsur yang dominan dalam budaya
Maluku Utara.
Kayu yang cukup banyak di hutan-hutan di pegunungan
memungkinkan dibuatnya berbagai jenis perahu, mulai dari
jenis oti mahera {perahu lesung tanpa cadik yang terbuat dari
sebuah batang pohon yang digali), hingga jungga atau kora-
kora yang Iebih kompleks dan yang berbagai jenis itu.
Pengembangan teknologi maritim memang disesuaikan dengan
kondisi alam di sana. Berbagai bentuk perahu, mulai dari
perahu Iesung hingga yang bercadik terutama hanya berfungsi
untuk komunikasi antar pemukiman atau paling jauh antar
pulau yang bertetangga. Kalaupun terjadi arus perdagangan,
seperti umpamanya antara Tidore hingga ke Irian dan Seram,
maka pelayaran selalu dilakukan dari pulau ke pulau sehingga
teknologi pelayaran pantai pula yang menonjol.
Namun untuk kepentingan politik kerajaan-kerajaan itu
membangun sejenis perahu yang lebih besar dan lebih kokoh,
44