Page 64 - SEJARAH KEBUDAYAAAN MALUKU
P. 64
3.2 Perdagangan dan Kebudayaan
Pada dasamya produk-produk dagang yang mahal seperti
rempah-rempah dan mutiara, adalah monopoli kedaton. Sebab
itu tidak mengherankan bahwa kekuasaan kedaton paling jelas
nampak pada wilayah-wilayah yang menghasilkan komoditi
dagang itu.
Di antara berbagai komoditi dagang yang mahal itu (barang
luks kata Van Leur), cengkehlah yang memiliki makna yang
paling menentukan dalam perkembangan peradaban di Maluku
Utara. Karena satu dan lain hal cengkeh pada mulanya
merupakan suatu komoditi dagang yang pada mulanya hanya
dihasilkan di beberapa pulau kecil di Maluku Utara saja (pala
lebih banyak dihasilkan di kepulauan Banda ketika itu).
Perdagangan rempah-rempah itu dimungkinkan karena
struktur tanah yang memungkinkan tumbuhnya rempah-
rempah itu pada satu pihak, dan pada pihak lain adanya
permintaan akan jenis komoditi itu di kawasan-kawasan bumi
lainnya. Bentuk interaksi ini mungkin sekali sudah berlangsung
berabad-abad sebelum para pedagang Portugis memasuki
wilayah ini dalam abad ke-16. Namun data mengenai masa
sebelum itu sangat sulit ditemukan, sekalipun tradisi lisan dan
berbagai Hikayat seperti Hikayat Ternate menunjuk pada
adanya kegiatan politik dan perdagangan sebelum abad ke-14.
Agaknya di masa Majapahit perdagangan itu berpusat di
kerajaan yang terletak di Jawa Timur itu. (Hall 1985: 232--260).
Para pedagang dari Jawa, dan para pedagang dari Maluku,
menjadi pembawa utama dari komoditi ini yang dipasarkan di
Asia. Tetapi dengan hancurnya kerajaan Majapahit di abad ke-
16 maka pusat perdagangan di Asia Tenggara itu beralih ke
Malaka yang terletak pada jalur dagang yang strategis antara
India dan Cina, sehingga rempah-rempah Maluku pun
disalurkan melalui kota pelabuhan itu. (Reid 1993 : 2--24) .
Kaitan antara perdagangan dan perubahan budaya kini
mulai mendapat perhatian para ahli sejarah Asia Tenggara,
48