Page 67 - SEJARAH KEBUDAYAAAN MALUKU
P. 67
sejak abad ke-18, sedangkan di pedalaman perubahan yang
diakibatkan perdagangan itu tidak nampak. (Leirissa, 1996).
Namun demikian tidak berarti bahwa di negeri-negeri pesisir
pola budaya lama, yang di Maluku pada umumnya dinamakan
kebudayaan halefuru (Maluku Utara) atau alifuru (Maluku
Tengah), sesungguhnya tidak lenyap sama sekali.
Kesamaan dalam corak budaya pesisiran di Maluku Utara
itu mempunyai implikasi politik pula. Persamaan budaya antara
negeri-negeri dengan kedaton-kedaton melahirkan integrasi
yang lebih mantap antara kedaton dan negeri-negeri, terutama
dalam lingkaran pertama, kedua, dan ketiga. Namun
keadaan itu tidak berlaku bagi masyarakat halefuru dalam
hubungannya dengan kedaton-kedaton. Pada umumnya
struktur pemerintahan di negeri-negeri sedapat mungkin
mengikuti pola yang ada di kedaton.
Di kedaton-kedaton Maluku Utara terdapat sejumlah
pejabat kerajaan sebagai pelaksana administrasi kerajaan
(bobato madopolo), seperti Jogugu {pejabat utama), Kapitan
Laut (Urusan Hongi dan Upeti), dan dua orang Hukum
(hubungan dengan rakyat). Di negeri-negeri di luar kedaton
pada umumnya sangaji merupakan semacam raja (local
chieftain) yang dilengkapi dengan aparat pemerintahan yang
sedapat mungkin mengikuti pola bobato ma-dopolo di kedaton
tersebut. Walau jumlah pejabat negeri tersebut tidak selalu
lengkap seperti halnya kedaton, tetapi jabatan Kapitan Laut
selalu ada di setiap negeri karena pentingnyajungga atau kora-
kora dalam struktur politik kerajaan. (Leirissa, 1996).
Dengan demikian, aspek perdagangan bisa banyak
menjelaskan tatanan politik. Bagaimana kekuasaan kerajaan-
kerajaan Maluku Utara itu muncul sehingga mencakup wilayah
kekuasaan yang hierarkhis yang digambarkan melalui
lingkaran-lingkaran konsentrik imajiner tersebut tidak dapat
dikatakan dengan pasti. Tetapi dalam abad ke-17 jelas sekali
nampak bahwa hubungan-hubungan politik itu menjadi
baku karena pengaruh voe. voe berkepentingan dalam
mempertahankan, malah memperkuat, hubungan-hubungan
51