Page 65 - SEJARAH KEBUDAYAAAN MALUKU
P. 65
khususnya Indonesia. Sudah sejak disertasi Jacob Comelis van
Leur (1934) diterbitkan pada tahun 1950 permasalahan itu
menjadi permasalahan yang dianggap patut dipelajari oleh para
akademisi. (Van Leur, 1950). Kenneth R. Hall, umpamanya,
dengan tegas hendak membuktikan bahwa pertumbuhan
kerajaan-kerajaan tradisional di Asia Tenggara, termasuk
Majapahit, sangat berkaitan dengan perdagangan. (Hall, 1985).
Kemudian, Jan Wisseman Christie, seorang ahli sejarah yang
juga mahir dalam arkeologi dan epigrafi, membuktikan bahwa
kerajaan-kerajaan awal di Asia Tenggara (abad ke-5 hingga
ke-9) tidak mungkin muncul tanpa adanya gerak perdagangan.
(Wisseman Christie, 1995).
Namun studi dari Anthony Reid mengenai hubungan antara
perdagangan dan perubahan budaya dalam masa Kurun Niaga
(abad ke-15 hingga abad ke-17) di Asia Tenggara tersebut di
atas (Reid 1988) berhasil lebih banyak membuka cakrawala
pengetahuan kita mengenai permasalahan itu. Sayangnya
perkembangan di Maluku Utara (bahkan seluruh Maluku)
kurang mendapat perhatian dalam buku itu, kecuali data
mengenai arus jumlah ekspor rempah-rempah.
Reid menunjukkan, bahwa pola dasar dari kaitan antara
perdagangan dan perubahan budaya itu adalah sebagai
berikut : para pedagang asing yang bermukim di kota-kota
dagang di Nusantara memiliki gaya hidup dan pandangan hidup
yang khas yang dibawa dari daerah asalnya masing-masing, dan
yang sangat berbeda hanya hidup dan pandangan keagamaan
dengan penduduk lokal pada umumnya. Kehidupan para
pedagang asing di kota-kota pelabuhan itu memancarkan
kemewahan dalam bentuk pakaian yang terdiri dari bahan-
bahan yang beraneka warna dengan harga yang bervarias;
perumahan mereka dihiasi dengan berbagai kain tenun dan
barang-barang kebutuhan hidup impor lainnya yang mewah,
pandangan hidup mereka mengikuti ajaran-ajaran agama Islam
yang dalam abad ke-15 belum lazim di Nusantara.
Status khas dari kaum pedagang itulah yang kemudian
ditiru oleh penduduk lokal. Bermula dari para penguasa dan
49