Page 24 - D:\Kantor ku\5. Stunting\Stunti
P. 24
Keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah/miskin
mempunyai keterbatasan daya beli dan pemilihan makanan
yang berkualitas, sehingga anak-anak mempunyai risiko
malnutrisi lebih tinggi (Unicef, 2009; Musthaq, et al., 2011,
Hagey, 2002, Mendez dan Adair, 1999; Pongou, et al., 2006;
Ramli et l., 2009, Hobcraft & Kiernan, 2010, Taulbut & Walsh,
2013; Akombi, 2017), mereka juga tidak mempunyai banyak
pilihan untuk tinggal di lingkungan pemukiman yang sehat
dan kondusif (Braveman &Gottlieb, 2014). Kemiskinan
membatasi orang dalam memilih pendidikan formal yang
memadai, padahal pendidikan sangat berkaitan dengan
pekerjaan dan pendapatan yang layak (Pongou, et al., 2006
dan Ramli, et al., 2009, Hagey, 2002, Braveman & Gottlieb,
2014). Monteiro et al., 2010 juga menyebutkan bahwa
morbiditas yang disebabkan oleh kemiskinan mencapai 45%
dari beban penyakit di negara-negara miskin.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan hubungan yang
erat antara peningkatan kesejahteraan ekonomi dengan
peningkatan derajat kesehatan, usia harapan hidup, serta
malnutrisi pada ibu dan anak. Menurut Monteiro et al., 2011
di Brazil, perbaikan sosial ekonomi dan pendapatan perkapita
penduduk dapat menurunkan prevalensi stunting balita dari
37,1% pada tahun 1994 menjadi 7,1% pada tahun 2007. Survei
di 36 negara menengah miskin juga menyatakan bahwa
peningkatan PDB/kapita sebesar 5% akan menurunkan risiko
stunting sebanyak 1% (Vollmer et al., 2014).
Pemerintah Indonesia telah berhasil menurunkan
kemiskinan dari waktu ke waktu, seperti yang dilaporkan
oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Gambar 17.
Tri Siswati, SKM, M.Kes. 19