Page 20 - Berbeda tapi Satu Jua – Kumpulan Cerpen Karya Murid SD di Kabupaten Kolaka
P. 20

RINDU PADA KAMPUNG HALAMAN


                                          Oleh : Cendana Refi Utami Sampelino


                   Namaku Cendana, aku anak Indonesia  yang tinggal  di luar negeri. Pekerjaan
               ayahku membuat kami harus meninggalkan kampung halaman. Di sini, aku memiliki
               seorang teman bernama Gabriel.
                      Mulanya, aku sulit beradaptasi dengan suasana dan makanannya. Tak seperti
               di Indoensia yang hanya ada musim kemarau dan penghujan, di sini ada empat musim
               yang harus dilewati sepanjang tahun, musim dingin, musim panas, musim gugur, dan
               musim semi. Makanan  pokoknya  pun  berbeda, bukan  nasi  atau sagu, melainkan
               kentang atau roti. Namun seiring waktu, aku pun dituntut untuk menerima kondisi ini,
               meski sejujurnya setiap harinya, aku begitu merindukan suasana dan kuliner Indonesia.
                   Tak terasa, kami akan memasuki liburan musim dingin. Untuk itu, ayahku menjanjikan
               untuk pulang kampung ke Indonesia, dan aku tak sabar untuk itu.
                   “Gabriel, sebentar lagi kita akan liburan.”  Ujarku.
                   “Iya Cendana, memangnya kamu punya rencana apa?”
                   “Kami akan pulang ke Indonesia.” Jawabku.
                   “Oh ya?” Ucapnya.
                   “Iya. Aku tidak sabaran untuk pulang. Kalau kamu, bagaimana?
                   “Ah tidak. Aku justru betah di sini, aku akan menikmati salju yang turun dan akan
               datang ke pertunjukan musik. Di Indonesia tak ada yang seperti ini. Apalagi di kampung
               kita itu, selalu membosankan saja suasananya.” Gerutunya.
                   “Sekalipun di sini ada salju atau pertunjukan musik dan lain-lainnya, tapi Indonesia
               tak kalah mengagumkan dengan semua yang dimilikinya. Aku rindu suasana di desa,
               melihat sawah dan gunung, mandi di sungai, dan terutama makanannya, aku rindu
               makan sinonggi.” Tuturku dengan wajah berseri membayangkan suasana kampung
               halamanku di Kolaka. Namun Gabriel tetap dengan pendiriannya yang meengagungkan
               kehidupan modern di sini, lantas menganggap kampung kami tidak punya nilai lebih
               untuk dirindukan. Kami pun terlibat perdebatan karena itu.
                   Mendengar  suara kami, seorang kakak kelas yang juga berasal dari Indonesia
               menghampiri dan menanyakan mengapa kami berdebat. Setelah kujelaskan, Ia pun
               memberi saran pada kami berdua.
                   “Setiap  negara punya  keunikan  masing-masing. Dan  sepatutnya  kita bangga
               lahir dan berasal dari Indonesia, sebuah negara yang kaya akan keragaman budaya
               dan kulinernya, serta pemandangan yang indah. Jika menurut kalian negera kita tak
               semodern di sini, maka  tugas kitalah menjadi generasi cerdas untuk belajar lebih
               giat, agar nantinya bisa membangun kampung halaman kita.” Ungkapnya. Aku senang
               sekali ia mengatakan hal itu, kata-katanya semakin menumbuhkan rasa cinta pada
               tanah airku Indonesia. Tampaknya Gabriel juga tersadarkan oleh masukan dari kakak
               kelas kami itu.


                                                            *****





                                                           9
   15   16   17   18   19   20   21   22   23   24   25