Page 58 - Berbeda tapi Satu Jua – Kumpulan Cerpen Karya Murid SD di Kabupaten Kolaka
P. 58

MENGHARGAI UMAT LAIN MENJALANKAN IBADAH

                                             Oleh : Gissela Aprilia Tessalonika


                   Suatu hari, Ayahku mendapat tugas ke luar daerah, yang secara kebetulan bersamaan
               dengan libur sekolah. Ayah pun mengajak kami sekeluarga untuk menemaninya. Bersama
               kami, ada juga sepupuku Rudi, Wawan dan Ningsih.
                   Setiba di kampung tempat kunjungan kerja ayahku itu, Pak Desa langsung menyambut
               hangat dan menyediakan tempat istirahat untuk kami. Saat ayah dan ibuku sibuk menghadiri
               urusan pertemuan dinas, kami berempat menikmati keindahan kampung  yang sangat asri.
               Ada banyak pepohonan yang rindang dan tertata indah, membuat susana jadi sejuk. Dan
               di banyak sudut kampung, berdiri beberapa tempat ibadah yang letaknya di luar rumah
               warga. Rumah ibadah berbentuk pura kecil yang jarang aku jumpai di tempat tinggalku.
                   Aku kerap memandangi aktivitas warga yang tiap harinya, sebelum melaksanakan
               tugas masing-masing, akan melakukan sembahyang di tempat ibadah yang terpisah dari
               induk rumah. Tampak mereka sedang khidmat dalam keheningan puja-puja dan pemuliaan
               pada sang pencipta.
                   “Sssst... Aduh Rudi, jangan berisik. Lihat di sana, ada yang sedang sembahyang.”
               Gumamku pelan pada Rudi yang asyik bernyanyi dengan suara lantang.
                   “Iya Rud, nyanyianmu itu menggangu kekhusyukan orang yang sedang beribadah.”
               Ningsih pun menambahi.
                   “Ah kalian berlebihan, aku cuma menyanyi.” Kata Rudi.
                   “Kalau mau nyanyi tempatnya di kebun untuk mengusir hama, karena suaramu
               menggaggu sekali.” Jawabku masih dengan suara yang dipelankan.
                   “Eh suaraku kan bagus, seperti Afgan, penyanyi idolamu itu.” Jawab Rudi sambil
               terkekeh.
                   “Sudah-sudah, jangan ribut. Suara debat kalian juga bisa mengganggu mereka.” Tegur
               Wawan. “Lebih baik kita ke tempat lain saja, kasihan mereka tidak berkosentrasi dengan
               ibadahnya.” Sambungnya seraya beranjak dari ruangan. Kamipun bergegas menyusul
               Wawan.
                   Saat  malam  tiba,  kami  semua  berkumpul.  Di  sela  obrolan  bersama  ayah,  aku
               menceritakan kejadian siang tadi kepadanya. Ayah pun menasihati kami.
                   “Dengar anak-anak, terutama kamu Rudi. Tempat kita dengan daerah di sini tidak
               sama. Terutama adat-istiadat atau kebudayaannnya. Jadi kita harus memaklumi, tadi Tesa
               bilang kamu menyanyi dan berisik ketika ada warga melaksanakan ibadahnya. Tindakan
               itu kurang terpuji dan jangan kamu ulangi lagi, ya?” Ucap Ayah.
                   “Iya, Paman. Tadi aku sempat berisik saat di luar sedang ada yang sembahyang. Aku
               janji tidak akan seperti itu lagi, mengusik ketenangan umat lain yang sedang beribadah.”
               Rudi mengakui kesalahannya dan kami semua tersenyum menanggapinya.
                   “Sekarang kalian istirahat karena besok pagi kalian akan punya kegiatan yang lebih
               seru. Om akan ajak kalian bermain di sungai. Bagaimana?” Kata Ayah yang disambut
               sorak bahagia kami semua.
                   “Ups, sudah malam dan yang lain sudah tidur, kita jangan berisik.” Ucapku. Kemudian
               kami semua tersenyum menahan diri agar tak bersuara gaduh.
                                                            *****


                                                           41
   53   54   55   56   57   58   59   60   61   62   63