Page 10 - Perjuangan Pondok Pesantren Lirboyo Dalam Peristiwa 10 November 1945
P. 10
Meskipun sudah ada pengganti almarhum ayah beliau, Manab tetap saja yatim. Dia tidak melalaikan
tugasnya. Bahkan ia yang belum baligh itu mampu berpikir jauh. Tumpuan harapannya tidak lain dirinya sendiri.
Ia ingin berdiri di atas kaki sendiri. Ia ingin mandiri. Sehingga, di saat usinya masih muda, Manab sudah punya
keinginan untuk mengembara. Dia ingin meniru Kang Aliman dan Kang Mu’min, dua kakaknya yang lebih dulu
berkelana untuk menuntut ilmu dan mencari kehidupan baru.
Keinginan Manab untuk mengembara dan menuntut ilmu nampaknya kian menggebu setelah dian
mengetahui alim ulama pengikut Pangeran Diponegoro. Misalnya Kiai Imam Rofi’i dari Bagelan, Kiai Hasan
Bashori dari Banyumas, Kiai Mlangi dari Sleman, dan lain-lain. Manab begitu kagum, hanya karena kedalaman
ilmu agama para ulama, Belanda sangat takut menghadapi mereka. Terbesit sebuah cita-cita luhur di hati Manab
ingin mencontoh keteladanan ulama. Beliau ingin tahu ilmu agama secara mendalam, ia seperti tidak rela menjadi
orang biasa. Walau sebenarnya Manab sadar bahwa ia hanya anak petani, tapi ia yakin bahwa keturunan sejati
adalah keturunan sesudahnya, Baginya, nasab tidaklah penting. Yang penting adalah ilmu. Akhirnya, pucuk
dipinta ulam pun tiba. Aliman, kakak Manab yang telah merantau ketika pulang ke Magelang menengok
keluarganya. Ia juga bermaksud mengajak pergi Manab yang saat itu berusia 14 tahun. Betapa gembira hati
Manab. Keinginan yang selama ini terpendam, yakni meninggalkan kampung halaman lithalabi ilmi (demi
menuntu ilmu) dan terlaksana juga. Apabila setelah Belanda kian melancarkan penangkapan-penangkapan
terhadap pemuda kader-kader ulama, hati Manab semakin berontak saja untuk secepatnya meninggalkan
Magelang (Bahtiar dkk, 2018: 23).