Page 11 - Perjuangan Pondok Pesantren Lirboyo Dalam Peristiwa 10 November 1945
P. 11
Setelah mendapatkan restu dari orang tuanya, berangkatlah Manab bersama kakaknya. Mereka memlih
melakukan perjalanan ke Jawa Timur konon banyak ulama yang menyingkir ke daerah ini. Saat itu, tarikh
(sejarah) menunjukan tahun 1870. Tentu, sarana transportasi masih sangat langka. Tapi, itu tidak memupuskan
semangat Manab. Justru itu merupakan tantangan awal yang mesti ia hadapi. Hanya dengan berjalan kaki, mereka
melakukan perjalanan ratusan kilometer. Setelah perjalanan jauh yang sangat berat dan melelahkan, sampailah
mereka pada sebuah dusun di Gurah, Kediri. Namanya Babadan. Di dusun inilah, mereka menemukan surau yang
diasuh oleh seorang kiai. Juga di tempat yang amat sederhana ini, Manab mulai nyantri, dengan memelajari ilmu-
ilmu dasar, seperti ilmu amaliyah sehari-hari.
Mulailah babak baru bagi Manab. Di rantau, dia menuntut ilmu. Ada kedamaian dan kebahagiaan yang
belum pernah ia rasakan sebelumnya. Tetapi, betapa pun ia juga harus memikirkan bekal sehari-hari. Maklum,
perbekalan yang dibawa dari rumah sudah habis di perjalanan. Akhirnya, Manab bersama kakaknya mesti
membagi waktu ikut mengetam padi menjadi buruh warga desa saat panen tiba. Setelah dirasa cukup singgah di
Babadan ini, mereka meneruskan pengembaranya. Mereka pindah di sebuah pesantren yang terletak di Cempoko,
20 km sebelah selatan Nganjuk. Menurut sebuah riwayat, Manab cukup lama belajar sekaligus bekerja di
pesantren ini. Kurang lebih 6 tahun. Kemudian, mereka pindah lagi ke Pesantren Trayang, Bangsri, Kertosono.
Di pesantren ini, Manab memperdalam Al-Qur’an dengan baik.
Kian beranjak dewasa, Manab pun semakin bertambah tekun mengaji. Seakan dia tidak puas dengan satu
atau dua pesantren saja. Masih bersama kakanya, Aliman ia meneruskan pengembaranya ilmiahnya. Melanjutkan
perjalanan ke arah timur. Seolah-olah Manab akan mengejar ke mana saja ilmu itu tersembunyi walau sampai ke
negeri Cina, bahkan hingga ke ujung dunia. Sesampainya di daerah Sidoarjo, dua bersaudara itu singgah di Sono,
sebuah pesantren yang terkenal ilmu sharaf-nya. Cukup lama Manab mondok di Pesantren Sono selama tujuh
tahun. Di sisni, Manab sudah tidak bekerja lagi. Seluruh kebutuhannya ditanggung oleh kakaknya. Sang kakak
marasa sayang jika waktu Manab tersita untuk bekerja karena Manab cukup rajin mengaji. Dalam waktu singkat,
kitab-kitab dasar nahwu sharaf telah dikuasai dengan baik.