Page 288 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 288
Sejarah Pemikiran Indonesia Modern
malapetaka bangsa di kemudian hari. Secara konseptual tentu dapat
dipertangungjawabkan. Meskipun tidak ada pilihan untuk menggantikan
komunisme menjadi sosialisme. Jadi bukan harus disingkat menjadi
NASAKOM (Nasionalisme Agama Komunis) tetapi NASASOS
(Nasionalisme Agama Sosialisme).
Jika sistem wacana Presiden Sukarno bersifat hiperbola maka Presiden
Soeharto bersifat efumisme. Namun kedua gaya penyampaian ide baik
masa demokrasi terpimpin maupun demokrasi Pancasila sama bukan
saja mengalami distorsi tetapi juga ketidakmampuan menangkap dunia
realitas.
Di tahun 1990-an, ada ungkapan Presiden Soeharto yang
mungkin masih diingat dalam menghadapi globalisasi, yang intinya
begini: mau tidak mau, suka atau tidak suka, siap atau tidak siap kita
harus memasuki era globalisasi, zaman keterbukaan. Ini menarik
dicermati karena tidak sampai satu dekade kemudian, justru salah satu
faktor yang menjatuhkan Soeharto adalah arus globalisasi yang tak
mudah dibendung, dengan satu kata kunci “keterbukaan”. Media sosial
yang semakin berkembang dua dekade yang lalu seperti jaringan
internet, twitter, blogger, yang memfasilitasi orang mengirimkan pesan
telah mempermudah hubungan antar individu atau kelompok
masyarakat terutama yang digerakkan dari kampus-kampus yang
kemudian menjadi faktor menguatnya ikatan mereka dalam suatu
gerakan menjatuhkan pemerintahan Soeharto. Meskipun begitu,
pemikiran Presiden Soeharto untuk menghadapi globalisasi dengan
memperkuat jatidiri bangsa telah menjadi catatan sejarah tersendiri.
Dalam kekinian Indonesia yang dihadapkan pada ancaman
kedaulatan yang tidak hanya dalam arti politik dan keutuhan wilayah,
tetapi kemandirian bangsa, pemikiran “berdikari” (“Berdiri di atas kaki
sendiri”) Presiden Sukarno misalnya kembali sepertinya diharapkan
kembali bergaung. Dalam makna ini pula ada relevansi apa yang
dikemukakan Abdullah bahwa sejarah pemikiran—yang digambarkan
melalui pemanfaatan novel—adalah tidak hanya pemahaman sejarah
hendak didapatkan melainkan juga diperolehnya kembali ‘semangat
zaman’ dari masa yang hilang itu secara lebih penuh. Kini tinggal lagi
bagaimana bangsa ini dapat mengambil hikmah dari pemikiran kedua
pemimpinnya. Kiranya sejarah pemikiran dapat dijadikan bahan untuk
melakukan pendidikan politik bagi setiap warga negara dalam kerangka
pembentukan bangsa dan penguatan negara.***
280 Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya