Page 195 - Gagasan Inovasi Pendidikan Volume 4
P. 195
Inspiring Lecturer Paragon
karena kurikulum menuntut hal yang berbeda maka anak tersebut
dipaksa untuk belajar matematika lebih sering dan lama daripada
pelajaran favoritnya. Hal ini berakibat pada anak yang malas pergi
sekolah. Di sekolah hanya tidur saja, menjadi “preman sekolah”, dsb.
Padahal bisa jadi hal ini adalah cara si anak untuk menyalurkan energi
kinetiknya atau bentuk protesnya karena keinginannya dipaksakan.
Akhirnya dia dicap menjadi anak bandel, tidak akan sukses, dan lain
sebagainya. Pelabelan anak merupakan suatu hal fatal yang sering
dilakukan oleh orang dewasa. Energi negatif yang terus diarahkan
padanya akan membuatnya percaya pada label tersebut.
Anak-anak dengan kecerdasan non-kognitif tak jarang
seringkali kesulitan dalam memilih Perguruan Tinggi favorit. Hal ini
karena mayoritas Pendidikan Tinggi kita menerapkan standar kognitif
yang ketat untuk seleksi masuknya. Pertanyaan yang diberikan pun
hampir seragam, hanya berbeda pada tingkat kesulitan. Namun, tetap
sama-sama mengagungkan kognitif. Hanya satu dari Sembilan
kecerdasan majemuk.
Jika kini kampus merdeka sudah mulai mencoba
“memerdekakan” metode belajar mahasiswa, namun sekiranya perlu
pula memerdekakan ujian seleksi sesuai Program Studi yang dituju
masing-masing calon mahasiswa. Misalnya, jika mahasiswa memilih
Program Studi Ilmu Komunikasi bisa saja ujian yang diterapkan
mahasiswa harus menunjukkan portofolio berupa tulisan, videografi
atau unjuk public speaking nya yang merupakan tujuan dari Program
Studi itu sendiri. Logika memang dibutuhkan, namun jangan karena
183