Page 177 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 6 OKTOBER 2020
P. 177

Kedua, penolakan publik atas substansi RUU ini berawal dari proses penyusunan yang eksklusif
              oleh pemerintah. Masyarakat curiga karena rancangan undang-undang ini merevisi 79 undang-
              undang  yang  berisi  1.244  pasal  yang  mengatur  banyak  hal,  dari  penyederhanaan  perizinan
              tanah,  persyaratan  investasi,  ketenagakerjaan,  kemudahan  berusaha,  administrasi
              pemerintahan, pengendalian lahan, kemudahan proyek pemerintah, hingga kawasan ekonomi.
              khusus.

              Banyak kejanggalan dari substansi yang diatur dalam RUU itu. Ada yang merugikan kelompok
              tertentu  seperti  buruh,  adanya  pasal  inkonstitusional  yang  dihidupkan  kembali,  tidak  ramah
              lingkungan, dan mengancam masyarakat marginal. Ada pula akrobat hukum, seperti ketentuan
              peraturan pemerintah yang dapat mengubah undang-undang dan lain sebagainya.

              Persoalan-persoalan tersebut diangkat oleh banyak kalangan melalui berbagai cara, dari unjuk
              rasa, seminar, hingga publikasi riset. Pada intinya, masyarakat meminta agar pembahasan RUU
              ini dihentikan. Desakan ini muncul, selain karena bermasalah dari segi proses maupun substansi,
              lantaran ada persoalan pandemi Covid-19, yang seharusnya lebih diutamakan oleh pemerintah
              dan DPR karena nyata telah menyebabkan penderitaan bagi masyarakat.
              Alih-alih  mendengarkan  masukan  publik,  DPR  bersama  pemerintah  justru  terus  menggenjot
              proses  pembahasan  RUU  tersebut.  Bahkan  DPR  rela  melakukan  beberapa  kali  pembahasan
              rancangan  undang-undang  tersebut  pada  hari  libur.  Tidak  pernah  sebelumnya  Dewan
              bersemangat  seperti  ini,  selain  pada  tahun  lalu  saat  merevisi  Undang-Undang  Komisi
              Pemberantasan Korupsi, yang juga mendapat penolakan masif dari publik.

              Ketiga,  sejatinya  ada  hal  yang  lebih  mengkhawatirkan  dari  undang-undang  yang  disusun
              menggunakan konsep omnibus law ini, yaitu ancaman terhadap demokrasi. Demokrasi itu bukan
              saja  soal  pencoblosan  dalam  pemilihan  umum,  tapi  juga  termasuk  peran  serta  masyarakat,
              terutama  dalam  pembentukan  hukum.  Demokrasi  menentukan  bahwa  sumber  kekuasaan
              tertinggi atau kedaulatan dalam suatu negara berada di tangan rakyat. Dalam negara demokrasi,
              hukum itu di-bentuk atas kehendak rakyat.

              Proses  pembentukan  Undang-Undang  Cipta  Kerja  ini  nanti  dapat  menjadi  role  model
              pembentukan undang-undang yang mengancam demokrasi karena tanpa partisipasi publik. Bila
              ada pihak yang mempersoalkan pembentukan undang-undang yang tidak piartisipatif, ungkapan
              seperti  "kita  pernah  membentuk  undang-undang  tanpa  partisipasi"  akan  semakin  sering
              terdengar. Hal ini bisa menjadi alat untuk membungkam publik karena pembentukan undang-
              undang tanpa partisipasi ini sudah berulang kali terjadi. Selain Undang-Undang Cipta Kerja, DPR
              sudah melakukannya saat merevisi Undang-Undang KPK serta Undang-Undang Mineral dan Batu
              Bara.

              Bila Rancangan Undangr Undang Cipta Kerja ini disahkan, ia memang akan berlaku layaknya
              undang-undang biasa. Tapi, dari segi demokrasi, ia telah memberangus kehidupan demokrasi
              negeri ini karena meniadakan masyarakat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi.


















                                                           176
   172   173   174   175   176   177   178   179   180   181   182