Page 71 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 6 OKTOBER 2020
P. 71

Belum lagi soal praktik sehari-hari di pengelolaan negara. Saya melihat semua begitu mulusnya.
              Begitu enak menjadi menteri-menteri sekarang. Mereka tidak harus menghadapi sikap DPR yang
              sangat garang.

              Saya begitu kagum dengan kekuatan pemerintah sekarang. Juga pada semangat pemerintah
              melakukan  pembaharuan.  Inikah  revolusi  mental  yang  dimaksud  dulu? Saya  membayangkan
              betapa lelah dan rumitnya menyiapkan RUU Cipta Kerja yang juga nama resmi Omnibus Law itu,
              utamanya bagaimana 79 UU harus ditinjau untuk dirangkum hanya dalam satu UU Cipta Kerja
              yang terdiri dari u kluster dan 1.244 pasal.

              Secara teoretis, UU Cipta Kerja ini akan menyelesaikan saling tabrakannya begitu banyak UU.
              Berakhirlah era hukum tidak sinkron di bidang ini.

              Sudah lama begitu banyak orang mengomel. Kok UU isinya saling bertabrakan. Bertahun-tahun
              omelan  seperti  itu  menjadi  wacana  nasional.  Saking  lamanya  omelan  sampai  tidak  ada
              penyelesaian. Seolah-olah bangsa ini hanya bisa menggerutu, tidak bisa menyelesaikan.
              Lalu, pemerintah sekarang ini berusaha menyelesaikannya lewat penggabungan menjadi satu,
              UU  Cipta  Kerja  ini.  Tempulu  DPR-nya  tidak  rewel.  Tempulu  DPR  lagi  baik-baik  kepada
              pemerintah.

              Tapi tenaga kerja pasti akan berontak dengan lahirnya UU Cipta Kerja ini. Sejak awal pun pasti
              sudah  diketahui.  Tenaga  kerjalah  yang  akan  terkena  langsung.  Karena  itu  judul  UU  ini  pun
              sebenarnya sudah dipilih yang paling bersahabat dengan perasaan tenaga kerja, yaitu UU Cipta
              Kerja. Kita menduga dengan judul itu tenaga kerja akan manggut-manggut dan berdecak kagum.

              Kalau saya lebih setuju dengan blak-blakan saja. UU Peroketan Perekonomian Nasional atau
              nama lain yang lebih jujur. Tujuan utamanya toh itu, yaitu menggairahkan kehidupan ekonomi.
              Bahwa setelah ekonomi maju akan berdampak terciptanya lapangan kerja itu adalah sunatullah.

              Tapi politik memang mengajarkan, jujur saja tidak cukup. Orang juga harus pandai berkelit.

              Maka ke depan ini tantangannya di luar DPR adalah aksi buruh. Menteri ketenagakerjaan akan
              sulit tidur. Tapi ini sudah di luar kemampuan seorang menteri. Ini sudah menyangkut keamanan
              dan kestabilan nasional.

              Memang, semua pengusaha mengeluhkan UU Tenaga Kerja yang lama. UU itu lahir di zaman
              Presiden Megawati dengan menteri tenaga kerjanya yang gegap gempita saat itu, Jacob Nuwa
              Wea.

              Misalnya, bagaimana bisa ada pasal ini. Seorang karyawan yang dipecat karena mencuri juga
              harus mendapat pesangon. Tapi di UU Cipta Kerja yang baru ini bukan hanya pasal itu saja yang
              dihapus, tapi juga upah minimum, cuti pribadi, karyawan kontrak, outsourcing, dan beberapa
              lagi.

              Dasar pemikirannya bahwa semua ketentuan lama itu tidak membuat buruh kita punya daya
              saing. Kita kalah produktif. Produktivitas satu buruh di Tiongkok disamakan dengan empat atau
              delapan buruh di sini. Di sini pemerintah dituntut agar mampu meyakinkan buruh.

              Pemerintah sudah mampu "menundukkan" DPR. Kita tidak perlu tahu kiat apa yang dipakai untuk
              menundukkan  para  politikus  itu.  Kini  kita  menunggu  bagaimana  kiat  pemerintah  untuk
              mengendalikan pergolakan buruh.
              Mungkin pemerintah sudah punya cadangan kiat untuk itu. Dengan demikian perhatian saya
              justru pada persoalan berikutnya. Yaitu, bagaimana pemerintah bisa sukses "menundukkan" diri
              sendiri.

                                                           70
   66   67   68   69   70   71   72   73   74   75   76