Page 315 - KLIPING KETENAGAKERJAAN 28 SEPTEMBER 2020
P. 315
Sekjen SBMI itu mengatakan lebih lanjut, fenomena PMI ilegal sejatinya sudah marak terjadi
dalam kurun waktu yang sangat lama. Hal ini tidak terlepas dari adanya oknum-oknum penyalur
di daerah yang berusaha mengeruk keuntungan dengan mengelabui calon pekerja migran.
Syarat yang sangat mudah jadi jerat pemikat.
Izin ekspor barang disalahgunakan untuk ekspor manusia "Mereka izinnya dari dinas
perdagangan dan jasa di daerah. Bagaimana perusahaan sekelas daerah bisa mengirimkan orang
ke luar negeri? Jadi izinnya itu untuk ekspor barang, bukan ekspor orang. Masa orang disamakan
dengan barang," papar Bobi.
Selain itu minimnya informasi resmi dari pemerintah di tingkat daerah, semakin melenggangkan
aksi para oknum yang Bobi sebut dengan istilah "middle man." "Jadi saat ini pihak swasta sudah
banyak membuka lowongan-lowongan kerja melalui media online, dikembangkan, dan itu maju.
Nah, pemerintah harusnya punya juga sehingga untuk mencari pekerja di luar negeri enggak
susah-susah. Informasi ini kan dikuasai sponsor yang ada di desa-desa sehingga kemudian untuk
bisa berangkat ke luar negeri harus melalui sponsor, harus melalui calo," lanjutnya.
Didalangi sindikat orang kuat Mengamini Bobi, Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran
Indonesia (BP2MI), Benny Rhamdani, mengakui adanya campur tangan oknum-oknum dalam
fenomena PMI ilegal. Terlebih para PMI ilegal biasanya berakhir menjadi korban perbudakan dan
perdagangan orang.
"Kelompok ini, sindikat ini, sulit disentuh karena komplotan dibekingi beberapa oknum yang
memiliki atributif-atributif kekuasaan," ujar Benny saat dihubungi DW Indonesia, Selasa (22/09)
sore.
Berdasarkan data BP2MI terdapat sekitar 3,7 juta PMI tersebar di 150 negara penempatan. Dari
angka tersebut mayoritas PMI ditempatkan di Taiwan, Korea Selatan, dan Hong Kong. Namun,
data World Bank menunjukkan terdapat sekitar 9 juta PMI. Artinya ada selisih 5,3 juta PMI yang
tidak tercatat di dalam data resmi.
"Makanya kami yakin dari 5,3 juta selisih angka antara data kami dan World Bank, bisa dikatakan
80 persen itu adalah mereka yang berangkat secara ilegal. Kenapa tidak bisa dikatakan 100
persen? Karena PMI bekerja di luar negeri ada juga yang bekerja tidak melalui BP2MI, mereka
berangkatnya secara mandiri," papar Benny.
Negara dirugikan triliunan Rupiah Akibatnya, menurut kepala BP2MI ini negara berpotensi
mengalami kerugian triliunan rupiah. Musababnya, PMI menjadi salah satu penyumbang devisa
negara terbesar. Pada tahun 2019 saja, para PMI berhasil menyumbang devisa mencapai Rp
159,6 trilun.
"Artinya bisa dibayangkan kalau yang 5,3 juta (PMI ilegal) 80 persen dari angka itu... kalau
mereka memilih berangkat secara resmi, maka berapa kali lipat sumbangan devisa dalam bentuk
remiten yang akan disumbangkan oleh mereka" imbuh Benny.
Oleh sebab itu, Benny yang dilantik menjadi Kepala BP2MI sejak pertengahan April lalu, terus
menggencarkan sosialisasi kepada masyarakat yang hendak bekerja di luar negeri untuk
menempuh jalur resmi. Mereka nantinya akan difasilitasi negara dan berada di bawah "radar
perlindungan negara." "Menciptakan para pekerja terampil atau profesional melalui pendidikan
atau pelatihan secara modul dan kurikulum dibuat seideal mungkin. Penguatan kapasitas,
pengetahuan bahasa, penguatan keterampilan atas sektor pekerjaan yang mereka pilih. Juga
mereka harus mengetahui budaya negara setempat. Mereka harus paham Undang-Undang
Ketenagakerjaan negara setempat. Itu kami bekali semua. Bahkan edukasi dan literasi keuangan
kita ajarkan kepada mereka," ungkapnya.
314