Page 118 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 17 JUNI 2021
P. 118
REKOMPOSISI IURAN JKP DIKHAWATIRKAN GANGGU LAYANAN BPJS
Serikat pekerja (SP) mengaku khawatir layanan jaminan sosial yang diselenggarakan oleh BPJS
Ketenagakerjaan terdampak oleh rekomposisi iuran Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Apalagi, rasio klaim program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM)
masih tinggi seperti tercermin dari kinerja sepanjang 2020 lalu.
Kekhawatiran tersebut disampaikan oleh Institut Hubungan Industrial Indonesia (IHII) yang
merupakan lembaga kajian hubungan industrial dan jaminan sosial. IHII adalah wadah bagi
serikat pekerja/serikat buruh dari beberapa konfederasi dan federasi.
"Rasio klaim yang tinggi akan mempengaruhi kinerja pelayanan kepada peserta dan akan
berpotensi mengganggu ketahanan program jaminan sosial ketenagakerjaan ke depannya,"
ungkapnya Ketua Umum IHII Saepul Tavip dalam keterangan resmi, Rabu (16/6).
Seperti diketahui, iuran JKP ditetapkan sebesar 0,46 persen dari upah pekerja/buruh per bulan.
Total iuran itu bersumber dari iuran pemerintah sebesar 0,22 persen dan rekomposisi iuran
sebesar 0,24 persen. Detailnya, rekomposisi iuran JKK sebesar 0,14 persen dan rekomposisi
iuran JKM sebesar 0,10 persen.
Saepul menuturkan berdasarkan laporan keuangan BPJS Ketenagakerjaan 2020, rasio klaim JKM
tercatat sebesar 73,80 persen terhadap premi dan JKK 41,07 persen.
Sementara rasio klaim Jaminan Hari Tua (JHT) 67,05 persen karena jumlah PHK terus terjadi
dan Jaminan Pensiun (JP) relatif rendah sebesar 2,4 persen.
"Tentunya ke depan, pendapatan iuran program JKK dan JKM masih akan turun karena iuran
JKK dan JKM akan direlokasi ke program JKP, yaitu masing-masing sebesar 0,14 persen dan 0,1
persen. Dampaknya adalah rasio klaim JKK dan JKM akan tetap tinggi di 2021," ujarnya.
BPJS Ketenagakerjaan melaporkan nominal klaim yang dibayarkan oleh BPJS Ketenagakerjaan
sepanjang tahun lalu bertambah 22,65 persen, yakni dari Rp29,71 triliun menjadi Rp36,44 triliun.
Namun, iuran premi dana jaminan sosial pada BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp73,26 triliun,
turun 0,21 persen dari tahun sebelumnya Rp73,42 triliun.
Selain menyampaikan kekhawatirannya, serikat pekerja juga mendorong pemerintah melakukan
sejumlah alternatif mendorong premi BPJS Ketenagakerjaan. Salah satunya dengan meningkat
jumlah peserta program jaminan sosial di BPJS Ketenagakerjaan, termasuk pekerja informal.
"Pemerintah mendaftarkan pekerja informal miskin, seperti pemulung, petani dan nelayan
miskin, pedagang asongan miskin, dan sebagainya menjadi peserta JKK dan JKM yang iurannya
dibayarkan pemerintah," katanya.
Selain pekerja informal, ia juga mendorong pemerintah mendaftarkan pekerja pemerintah non
ASN seperti guru honorer dan pekerja honorer pemerintah lainnya sebagai peserta.
Selain itu, ia mengusulkan pemerintah mewajibkan pekerja bukan penerima upah (PBPU) atau
peserta mandiri menjadi peserta JKK dan JKM sesuai dengan amanat Pasal 7 dan 8 Peraturan
Presiden Nomor 109 Tahun 2013 "Dengan semakin besar kepesertaan, maka pendapatan iuran
akan meningkat sehingga rasio klaim akan bisa diturunkan," tandasnya.
117