Page 8 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 17 JUNI 2021
P. 8
Demikian juga rasio klaim JKM akan tetap tinggi seperti di tahun 2020 sebesar 73,80%.
Sementara rasio klaim Jaminan Hari Tua (JHT) 67,05% karena jumlah PHK terus terjadi. Rasio
klaim Jaminan Pensiun (JP) relatif rendah sebesar 2,4%.
"Rasio klaim yang tinggi akan mempengaruhi kinerja pelayanan kepada peserta dan akan
berpotensi mengganggu ketahanan program jaminan sosial ketenagakerjaan ke depannya.
Dengan menurunkan rasio klaim maka akan mendukung peningkatan hasil investasi," ujarnya
dalam siaran pers, Rabu (16/6/2021).
Walaupun rasio klaim JP masih rendah, namun pemerintah belum mau menaikkan iuran JP yang
diamanatkan Pasal 28 ayat (4) PP No. 45 Tahun 2015, sehingga akan mengganggu ketahanan
dana JP ke depan.
BPJS Ketenagakerjaan mencatatkan penurunan dari sisi pendapatan iuran, khususnya program
JKK yang turun sebesar Rp2,13 triliun dan JKM turun sebesar Rp0,99 triliun. Sementara
pendapatan iuran JHT hanya naik Rp1,93 T dan JP naik sebesar Rp1,03 triliun pada laporan
kinerja tahun 2020.
Atas hal tersebut, serikat pekerja mengusulkan beberapa hal kepada pemerintah. Pertama,
seluruh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang diamanatkan Inpres No. 2 Tahun
2021 tentang optimalisasi program jaminan sosial ketenagakerjaan harus terus berkoordinasi,
berkomunikasi dan konsisten mendukung pelaksanaan jaminan sosial ketenagakerjaan agar
kepesertaan pekerja di jaminan sosial ketenagakerjaan meningkat dengan signifikan. Dengan
semakin besar kepesertaan maka pendapatan iuran akan meningkat sehingga rasio klaim akan
bisa diturunkan.
Kedua, presiden melakukan evaluasi pelaksanaan Inpres no. 2 tahun 2021 yang menginstruksi
kepada 26 Kementerian/Lembaga dan pemda untuk mendukung peningkatan kepesertaan
program jaminan sosial ketenagakerjaan. Pengawasan dan penegakkan hukum menjadi hal yang
harus diprioritaskan untuk berjalannya Inpres ini dengan baik.
Ketiga, pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan melaksanakan amanat Pasal 7 dan 8 Peraturan
Presiden No. 109 tahun 2013, yaitu mewajibkan pekerja bukan penerima upah (Peserta mandiri)
menjadi peserta JKK dan JKm di BPJS Ketenagakerjaan.
Keempat, pemerintah mendaftarkan pekerja pemerintah non ASN seperti guru honorer dan
pekerja honorer Pemerintah lainnya ke BPJS Ketenagakerjaan. Kelima, pemerintah mendaftarkan
pekerja informal miskin seperti pemulung, petani dan nelayan miskin, pedagang asongan miskin,
dan sebagainya menjadi peserta JKK dan JKM di BPJS Ketenagakerjaan dengan skema Penerima
Bantuan Iuran (PBI) yang iurannya dibayarkan pemerintah.
Keenam, mendorong pemerintah merevisi PP No. 60 Tahun 2015 junto Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan No. 19 Tahun 2015, dengan menerapkan syarat pengambilan JHT yaitu minimal
kepesertaan 5 tahun baru boleh mencairkan dana JHT. Dengan revisi ini maka rasio klaim JHT
akan menurun.
Ketujuh, pemerintah menaikan iuran JP sesuai amanat Pasal 28 ayat (4) PP No. 45 Tahun 2015
sehingga ketahanan dana JP akan semakin baik, dan akan mampu menjamin pekerja yang
memasuki masa pensiun dengan manfaat pasti.
Kedelapan, mendorong Direksi BPJS Ketenagakerjaan berkomunikasi dengan pengurus serikat
pekerja untuk mensosialisasikan program dan strategi investasi dana kelolaan BPJS
Ketenagakerjaan agar hasil pendapatan investasi ke depan semakin meningkat.
(ind).
7