Page 17 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 11 JUNI 2021
P. 17

kebebasan. Rentannya posisi perempuan pekerja migran tampak, antara lain, dalam catatan
              SBMI pada 2019. Sebanyak 356 kasus atau 56 persen dari total 640 pengaduan pekerja migran
              merupakan perempuan.

              Sebagian besar perempuan pekerja migran bekerja di sektor domestik sebagai asisten rumah
              tangga.  Sayangnya,  lanjut  Dina,  pekerjaan  tersebut  masih  dianggap  ranah  privat  di  banyak
              negara. Alasannya, mereka dipekerjakan di rumah, sedangkan rumah dianggap wilayah privasi.
              Akibatnya, rumah majikan nyaris tidak tersentuh oleh petugas.

              "Tidak ada inspeksi berkala, hingga akhirnya mereka rentan jadi korban kekerasan seksual dan
              juga tidak mendapatkan haknya," ungkap Dina, yang pernah menjadi pekerja migran Indonesia
              di Hong Kong selama empat tahun.

              Perempuan pekerja migran yang mengalami kekerasan berbasis jender sebagian baru diketahui
              jika mereka diam-diam melapor atau kabur dari rumah majikan. "Bahkan, tidak jarang mereka
              dituduh membunuh. Padahal, mereka hanya membela diri untuk menghindari pemerkosaan,"
              kata Dina.

              Nenah Arsinah (38), pekerja migran asal Majalengka, Jabar, misalnya, terancam hukuman mati
              di Uni Emirat Arab karena dituduh membunuh dan berzina dengan sopir majikannya. Padahal,
              menurut  penuturan  keluarga,  anak  petani  tersebut  ditangkap  polisi  setelah  menandatangani
              sebuah surat yang tidak ia mengerti dengan iming-iming diberikan uang.

              Turini (48), pekerja migran asal Cirebon, juga baru bisa pulang pada 2019 setelah dilarang keluar
              rumah oleh majikannya di Arab Saudi sejak 1998. Ia bebas setelah temannya melapor ke media
              sosial. Akibat kejadian itu, ia mengalami trauma karena harus memulai mengenal keluarganya
              sendiri, termasuk menikah ulang dengan suaminya.

              Untuk  mencegah  kejadian  serupa  terulang,  Dina  mengingatkan  agar  calon  pekerja  migran
              menghindari pemberangkatan tanpa dokumen resmi. Mereka juga harus paham tempat melapor
              jika menjadi korban kekerasan.

              Sosialisasi ke desa

              Kehadiran LTSA yang terintegrasi dengan MRC, menurut dia, dibutuhkan karena petugas MRC
              langsung turun ke desa-desa. Selama ini, pemerintah daerah telah menyosialisasikan LTSA dan
              perlindungan  terhadap pekerja  migran  kepada kepala  desa.  Namun,  sosialisasi  tidak optimal
              karena informasinya tidak sampai ke masyarakat langsung.

              "Buktinya, belum semua warga tahu apa itu LTSA Bahkan, yang ke LTSA itu calo, bukan calon
              pekerja migran. Mereka akhirnya dapat informasi yang tidak akurat dari calo," katanya.

              Sementara  Hartono  mengatakan,  sosialisasi  terkait  hak-hak  pekerja  migran,  sesuai  Undang-
              Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, telah dilakukan
              terhadap 412 desa di Cirebon dalam beberapa tahun terakhir.

              "Kami sosialisasi langsung ke kuwunya (kepala desa). Akan tetapi, mungkin pemerintah desa
              belum paham," katanya.

              Padahal,  lanjutnya,  Cirebon  merupakan  daerah  dengan  jumlah  penempatan  pekerja  migran
              terbanyak  ketiga  di  Indonesia  tahun  lalu.  Dari  2.803  pekerja  migran,  sebanyak  67  persen
              merupakan perempuan. Pihaknya juga mencatat 18 kasus pekerja migran bermasalah di Cirebon.
              Kasus  itu,  antara  lain,  hilang  kontak,  gaji  belum  dibayar,  hingga  menjadi  korban  kekerasan
              seksual.




                                                           16
   12   13   14   15   16   17   18   19   20   21   22