Page 195 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 11 JUNI 2021
P. 195

7.000 PEKERJA BERPOTENSI KENA PHK AKIBAT LONJAKAN CUKAI

              JAKARTA-- Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) mencatat sebanyak tujuh ribu tenaga
              kerja industri tembakau mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) per tahunnya. Adapun
              perkiraan tersebut jika adanya revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang
              Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

              Ketua Umum AMTI Budidoyo mengatakan perkiraan tersebut didasarkan atas pabrik tembakau
              yang berpotensi ditutup karena tekanan kerugian keuangan.

              "Seperti yang sudah disampaikan bahwa kalau nanti terjadi revisi, maka sekarang inikan sudah
              tertekan, industri inikan sudah tertekan dengan adanya pandemi, makanya dengan revisi PP tadi,
              justru semakin menekan," ujarnya dalam keterangan resmi seperti dikutip Kamis (10/6).

              Dari data IHT, dalam kurun waktu 2015-2020 adanya penurunan produksi level rata-rata 7,5
              persen atau kisaran 26 miliar batang. Jika hitungannya, jika ada satu gram tembakau mengalami
              penurunan maka ada 26 ribu ton tembakau yang tidak terserap.

              "Misalnya 26 miliar batang itu dikonversi menjadi satu gram, maka sudah ada 26 ribu ton yang
              tidak terserap. Belum lagi sektor tenaga kerja. Dari hasil penelitian, jika penurunan lima persen,
              maka ada potensi loss tenaga kerja itu sekitar tujuh ribu orang," katanya.

              Maka  itu  revisi  PP  Nomor  109  Tahun  2012,  akan  mendorong  potensi  kehilangan  pekerjaan.
              Budidoyo menegaskan hal itu mengkhianati amanah peraturan dan perundang-undangan karena
              pemerintah seharusnya mengkonsultasikan kebijakan yang berdampak pada mata rantai IHT
              kepada para pemangku kepentingannya.

              "Itu yang kita khawatirkan. Ini dari unsur petani, belum lagi kalau produksinya turun, apakah
              iya, penurunan preferensi merokok terjadi? Karena cukai yang tinggi rokok ilegal akan beredar
              begitu banyak, begitu juga sebaliknya," tutur dia.

              Dia  menilai  kebijakan  pengendalian  tembakau  saat  ini  sudah  mengatur  berbagai  poin  untuk
              membatasi iklan media luar ruang, iklan televisi, tempat khusus merokok yang terpisah, dan
              larangan menjual rokok kepada ibu hamil dan anak di bawah 18 tahun.

              Selain itu, kinerja IHT pada 2020 sudah turun sebesar 9,7 persen akibat kenaikan cukai tinggi,
              dampak  pandemi,  serta  regulasi  yang  terus  menekan  sehingga  menimbulkan  ketidakpastian
              usaha. Per April 2021, sektor IHT masih mengalami penurunan sebesar 6,6 persen.
              Menurut  Budidoyo,  mencuatnya  desakan  revisi  PP  109/2012  jelas  semakin  memberatkan
              kelangsungan hidup IHT dan akan semakin merugikan enam juta orang yang menggantungkan
              hidupnya dari sektor IHT. Saat ini, sektor IHT sedang berupaya pulih dari dampak pandemi dan
              dihadapkan pada target penerimaan kepabeanan dan cukai.
              "Wacana revisi PP 109/2012 tujuannya tidak lagi melakukan pembatasan tetapi melarang total
              keberadaan  IHT.  Ini  sangat  disayangkan.  Isu  perokok  pemula  yang  termasuk  dalam  fokus
              wacana revisi PP 109/2012 merupakan persoalan pelik, butuh sinergi kebijakan dan kontribusi
              seluruh pihak dan pemangku kepentingan, bukan hanya pengendalian sisi hilir," ucapnya.












                                                           194
   190   191   192   193   194   195   196   197   198   199   200