Page 25 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 6 NOVEMBER 2020
P. 25
status mereka dalam usaha bidang perikanan yang menerima pendapatan dari bagi hasil. Kedua,
tidak adanya kebijakan perlindungan kesejahteraan serta keselamatan aset dan jiwa yang
memadai atas tingginya ketidakpastian usaha perikanan. Dari sudut inilah semestinya Undang-
Undang Cipta Kerja yang berbentuk omnibus law itu masuk untuk membenahi ketenagakerjaan
perikanan.
Pendapatan dari bagi hasil dan pengupahan harus dievaluasi kembali. Jika nelayan kita bekerja
di kapal asing, mereka termasuk buruh yang upahnya dibayar sesuai dengan kontrak. Itulah
sebabnya banyak nelayan kita, yang bekerja di kapal Taiwan, Thailand, dan Selandia Baru. Di
Indonesia, yang diupah seperti itu hanya pekerja yang memiliki kontrak kerja, seperti pengolah
hasil perikanan.
Pendapatan nelayan kini masih merujuk pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1964 tentang
Bagi Hasil Perikanan. Undang-undang itu tidak melihat nelayan sebagai kelompok masyarakat
yang bekerja dengan risiko tinggi dan menuntut nelayan memberikan hasil yang besar.
Akibatnya, kita masih menemukan nelayan di kapal huhate 30 GT yang menerima penghasilan
Rp 1,2-2,2 juta per bulan. Selain itu, penerimaan nelayan kapal purse seine sebesar Rp 0,8-2,4
juta dan gillnet yang di bawah Rp 2 juta per bulan. Apabila dengan mekanisme penggajian dan
bonus, potensi pendapatan nelayan dapat dipastikan lebih dari upah minimum regional dan
mendapat jaminan perlindungan.
Pola hubungan sekarang menyebabkan nelayan terus terperangkap dalam ketidakpastian
penghasilan. Hidup mereka kian tidak pasti ketika kebijakan pemerintah tidak berpihak kepada
mereka, seperti kenaikan harga bahan bakar minyak, listrik, dan biaya hidup. Nelayan akan terus
terjebak dalam kemiskinan struktural yang didesain secara sistematis tanpa ada upaya
penyelesaiannya.
Nelayan berhadapan dengan tingginya ketidakpastian terhadap hasil tangkapan, wilayah tangkap
yang semakin jauh, dan risiko perubahan cuaca di tengah laut. Rendahnya penyerapan kredit
usaha nelayan serta tiadanya jaminan usaha, asuransi kesehatan, dan keselamatan nelayan
semakin menegaskan bahwa nelayan adalah buruh kelas dua. Pemerintah perlu membuat
regulasi yang lebih baik dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut.
Momentum Undang-Undang Cipta Kerja seharusnya menjadi peluang bagi pemerintah untuk
menempatkan buruh nelayan sebagai bagian dari tenaga kerja profesional yang juga
memerlukan standar hidup layak dan kompetensi yang memadai untuk menangkap ikan secara
benar serta mampu melindungi ekosistem.
Setidaknya ada tiga langkah mendesak yang perlu dilakukan. Pertama,pemerintah segera
membuat undang-undang mengenai perlindungan dan kesejahteraan nelayan sebagai kebijakan
yang mengarah pada profesionalitas nelayan. Kedua, pemerintah segera membenahi Undang-
Undang Bagi Hasil Perikanan. Ketiga, pemerintah menempatkan nelayan, pengolah, dan
pedagang ikan sebagai tenaga kerja resmi dan profesi yang diakui sehingga kompetensinya bisa
diperbaiki, yang akan meningkatkan kualitas hasil tangkapan nelayan.
Buruh nelayan, buruh pelabuhan ikan, dan buruh pengolahan ikan harus disebut sebagai pekerja
perikanan jika negara ini ingin maju dan siap bersaing di pasar dunia. Dengan demikian, nelayan
dan produk perikanan kita akan mampu bersaing di dunia global.
24