Page 261 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 6 NOVEMBER 2020
P. 261

tersebut  disigi  dari  hasil  survei  Federasi  Serikat  Pekerja  Metal  Indonesia  (FSPMI)  bersama
              lembaga nirlaba Jerman Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) di tiga provinsi: Jawa Barat, Jawa Timur,
              dan Kepulauan Riau.

              KSPI meminta agar outsourcing dibatasi untuk jenis pekerjaan tertentu dan tidak boleh seumur
              hidup. Iqbal mengatakan, penggunaan outsourcing di seluruh dunia

              dibatasi jenis pekerjaannya agar tidak terjadi modern slavery."Misalnya di Prancis hanya boleh
              untuk 13 jenis pekerjaan, boleh menggunakan karyawan outsourcing dan tidak boleh seumur
              hidup, begitu pula di banyak negara industri lainnya," kata Iqbal.

              Menurut catatannya, jumlah karyawan kontrak dan outsourcing berkisar 70%-80% dari total
              buruh yang bekerja di sektor formal. Omnibus lawbisz saja menggerus jumlah karyawan tetap
              menjadi  5%.  KSPI  meminta  agar  penggunaan  pekerja  outsourcing  dikembalikan  sesuai  UU
              Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

              KSPI  menilai  UU  Ciptaker  memangkas  jaminan  sosial  untuk  buruh  kontrak  dan  outsourcing.
              Ketika buruh kontrak dan outsourcing diberlakukan seumur hidup maka buruh akan kehilangan
              jaminan  sosial  seperti  jaminan  kesehatan  dan  jaminan  pensiun.  "Tidak  mungkin  agen
              outsourcing membayar jaminan kesehatan dan pensiun karena mereka hanya menjual tenaga
              kerja. Agen hanya mencari fee sehingga mereka akan lepas tangan untuk membayar jaminan
              sosial," ujarnya.

              HEBOH CACAT PROSEDUR


              Ketua Komnas H AM, Ahmad Taufan Damanik, berpendapat Undang-Undang Cipta Kerja cacat
              prosedur serta kurang transparan. Bahkan ia menilai proses penyusunan UU terkesan sangat
              dipaksakan.

              Komnas  HAM,  menurutnya,  telah  mengajukan  surat  permohonan  resmi  kepada  Menteri
              Koordinator Bidang Perekonomian dengan Nomor: 012/PP.0.2.4/ 11/2020 tertanggal 5 Februari
              2020 perihal Permohonan Draf Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. "Namun kita
              tidak mendapatkan respon," kata Taufan kepada Gatra review pada 7 Oktober lalu.


              Ia  menilai  pembahasan  UU  Ciptaker  melalui  Tripartit  Nasional  yang  melibatkan  pemerintah
              diwakili  Kementerian  Ketenagakerjaan,  buruh,  dan  pelaku  usaha  tidak  membuahkan  hasil.
              Buntutnya terjadi penolakan berujung demonstrasi pada 6-8 Oktober 2020.

              Bahkan,  lanjutnya,  organisasi  keagamaan  seperti  Muhammadiyah,  Nadhlatul  Ulama,  hingga
              Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) buru-buru mengeluarkan pernyataan sikap menolak
              UU  tersebut.  "Kami  tidak  mungkin  tidak  mendengar  mereka,  kami  ajak  diskusi  lob  mereka.
              Elemen-elemen masyarakat sipil itu kan diundang diskusi," ucapnya.

              Taufan  mengatakan  aturan  yang  mengatur  upah  buruh  yang  tercantum  dalam  UU  Ciptaker
              malah  berpotensi  menurunkan  "nilai  kemanusiaan"  dari  buruh  itu  sendiri.  Padahal  sejatinya
              harkat buruh seharusnya dilindungi dan ditingkatkan.

              Dirinya mencontohkan Malaysia yang mematok upah buruh cukup tinggi namun masih mampu
              mendatangkan investasi asing di negaranya. Bahkan banyak pekerja Indonesia yang rela bekerja
              di negeri jiran lantaran mendapat upah lima hingga 10 kali lipat. "Negara-negara lain seperti

                                                           260
   256   257   258   259   260   261   262   263   264   265   266