Page 260 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 6 NOVEMBER 2020
P. 260

(PP) dan lima peraturan presiden (perpres) yang disiapkan sebagai tindak lanjut dari UU Cipta
              Kerja," ujar Moeldoko dalam keterangan tertulis yang disiarkan KSP pada 17 Oktober lalu.

              Mantan  Panglima  TNI  itu  turut  mengomentari  pandangan  yang  menyebut  UU  Cipta  Kerja
              merugikan  kaum  buruh.  Menurutnya,  semangat  pembentukan  UU  yakni  untuk  menciptakan
              lapangan kerja baru yang seluas-luasnya. "Kita mengupayakan ada jaminan lebih baik tentang
              pekerjaan, jaminan pendapatan lebih baik, dan jaminan lebih baik bidang sosial," katanya.

              BURUH KOMPAK MENOLAK

              Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mengatakan terdapat tujuh
              poin  keberatan  yang  digaungkan  kaum  buruh  terkait  RUU.  Iqbal  menyebutkan  poin-poin
              keberatan  tersebut,  antara  lain  hilangnya  upah  minimum  kota/kabupaten  (UMK)  dan  upah
              minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK), nilai pesangon yang berkurang, waktu kerja yang
              eksploitatif, hak upah atas cuti hilang, outsourcing seumur hidup, dan hilangnya potensi jaminan
              kesehatan.


              KSPI meminta UMK tidak diberlakukan bersyarat dan UMSK tidak dihilangkan. Menurut Iqbal,
              UMK Indonesia di tiap daerah berbeda yang nilainya sesuai nilai kebutuhan hidup layak (KHL).
              Ia membantah anggapan bahwa UMK di Indonesia lebih mahal dari negara ASEAN lainnya. Bila
              diambil  rata-rata  nilai  UMK  nasional,  UMK  di  Indonesia  jauh  lebih  kecil  dari  upah  minimum
              nasional di Vietnam.

              Sementara itu, Mahkamah Agung, Iqbal melanjutkan, dalam keputusan judicial review tentang
              PP  Nomor  78/2015  tentang  Pengupahan  memutuskan  UMK  tetap  berlaku  dengan  kenaikan
              berdasarkan inflasi. "Oleh karena itu, UMK tetap harus ada dengan kenaikannya berdasarkan
              inflasi  dan  pertumbuhan  ekonomi.  Bukan  hanya  pertumbuhan  ekonomi  saja,  untuk  tetap
              menjaga daya beli buruh," kata Iqbal ketika diwawancara Gatra review pada 4 Oktober lalu.

              Iqbal menyebut pihaknya telah mengusulkan nilai kenaikan dan jenis industri yang mendapatkan
              UMSK  diputuskan  di  tingkat  nasional  oleh  menteri  berdasarkan  kesepakatan  serikat  pekerja
              dengan asosiasi sektor industri di tingkat nasional. "Jadi UMSK tidak lagi diputuskan di daerah
              kabupaten/kota. Daerah-daerah yang mendapatkan UMSK diputuskan berdasarkan kesepakatan
              di tingkat nasional tersebut. Jadi dalam pilkada tidak ada politisasi upah minimum," ujar Iqbal.

              KSPI juga tegas menolak pengurangan nilai pesangon dari 3 2 bulan upah menjadi 2 5 bulan.
              Yakni 19 bulan dibayar pengusaha dan enam bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan. Pengurangan
              terhadap  nilai  pesangon  ujarnya  jelas  merugikan  kaum  buruh.  "Ketentuan  mengenai  BPJS
              Ketenagakerjaan yang akan membayar pesangon sebesar 6 bulan upah tidak masuk akal. Dari
              mana sumber dananya?" tanya Iqbal.

              Pihaknya  juga  menyoalkan  konsep  pemberlakuan  perjanjian  kerja  waktu  tertentu  (PKWT)
              seumur hidup sebab harus ada batas waktu kontrak bagi pekerja kontrak atau PKWT. Jika hal
              itu diterapkan maka buruh Indonesia tidak memiliki kepastian masa depan. "No job security.
              Buruh tidak lagi memiliki harapan untuk diangkat menjadi karyawan tetap karena pengusaha
              cenderung akan mempergunakan karyawan kontrak yang bisa diberhentikan kapan saja".


              Iqbal  menerangkan  saat  ini  jumlah  karyawan  kontrak  dan  outsourcing  sebesar  60%-75%.
              Mereka  bekerja  tanpa  kepastian,  dengan  upah  rendah,  dan  tidak  ada  jaminan  sosial.  Data

                                                           259
   255   256   257   258   259   260   261   262   263   264   265