Page 35 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 6 AGUSTUS 2020
P. 35
pengusaha sudah cekak untuk tetap menjalankan produksi di tengah kondisi pasar yang belum
cukup baik.
Di sisi lain, sebut Shinta, Indonesia juga membutuhkan reformasi kebijakan ekonomi, khususnya
yang memengaruhi perbaikan iklim usaha dan investasi. Hijuannya agar kinerja sektor riil tak
semata bergantung pada stimulus dan kekuatan modal dalam negeri yang pas-pasan, tetapi
lebih pada investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI).
"Ini menjadi faktor penting yang membedakan proses pemulihan Indonesia dengan China. Di
Indonesia, restriksi FDI jauh lebih tinggi ketimbang China, padahal kemampuan permodalan
nasional RI jauh lebih rendah dibandingkan dengan China," jelasnya.
Jika masalah hambatan investasi tak kunjung diperbaiki, Shinta meyakini proses pemulihan
ekonomi akan lebih mudah teiganggu faktor eksternal dan bakal berlangsung lama. Pasalnya,
suplai modal di Indonesia saat ini jauh lebih rendah dari kebutuhan kapital untuk membangkitkan
sektor riil.
Dari sisi lapangan pekerjaan pun, sambungnya, pelaku industri akan kesulitan menciptakan
kembali penyerapan bagi pekerja yang dirumahkan maupun terimbas pemutusan hubungan
kerja (PHK) selama pandemi.
"Jadi, dua-duanya baik peningkatan realisasi stimulus maupun perbaikan iklim usaha dan
investasi harus jalan berbarengan agar rebound bisa terjadi secepat mungkin," tuturnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menilai belanja
masyarakat menjadi penggerak utama sendi perekonomian agar RI tidak terperosok ke
kubangan resesi.
"Jadi, kalau konsumsi dijaga, kemungkinan lolos dari resesi akan sangat besar," ujarnya.
Untuk itu, tegasnya, stimulus perbaikan daya beli masyarakat menjadi kunci. Menurut survei
Danareksa Research Institute 2020, intensi belanja masyarakat melemah, tecermin dari indeks
rencana pembelian yang turun 10,5% secara tahunan pada April 2020.
Laporan yang sama menyebutkan indeks kepercayaan konsumen turun ke level 72,6 karena
indeks situasi saat ini turun ke level 30, sedangkan indeks ekspektasi relatif stabil di level 90.
"Artinya, orang menahan diri untuk spending. Ada persepsi terhadap penurunan pendapatan
pada masa mendatang dan efek yang paling parah akan lebih dialami oleh masyarakat
berpenghasilan rendah," lanjutnya.
Dia menambahkan keberlangsungan kegiatan usaha juga bergantung pada permintaan pasar
yang masih buruk akibat penanganan pandemi yang tidak maksimal sejak awal. Stimulus,
jelasnya, tidak akan mampu menjadi penopang jika permintaan tidak membaik.
Lagipula, lanjutnya, kekhawatiran masyarakat terus meningkat akibat program Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB) dan PHK yang praktis mencederai daya beli masyarakat.
Bertolak dari hal itu, Hariyadi menyarankan sejumlah rekomendasi untuk memulihkan
permintaan. Pertama, menciptakan rasa aman bagi masyarakat. Kedua, memasifkan stimulus
pemerintah dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT).
Ketiga, meregulasi rangsangan investasi, seperti Dana Investasi Real Estat (DIRE) dengan
potongan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari 5% menjadi 1%. Keempat,
memacu konektivitas, khususnya transportasi udara untuk menciptakan permintaan di sektor
pariwisata.
33