Page 241 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 3 MARET 2021
P. 241
Ringkasan
Semakin lama cuti hamil, kecil kesempatan perempuan naik jabatan, masuk ke posisi
manajemen, atau menerima kenaikan gaji. Bagi Anggi (37), mengambil cuti hamil tidak
berdampak buruk pada kariernya. Pada 2010, perempuan yang bekerja di sebuah media ini
mengambil cuti hamil selama tiga bulan untuk kelahiran anak pertamanya. Dimulai sekitar
seminggu jelang persalinan, cuti hamil ia manfaatkan untuk beradaptasi menjadi ibu baru,
menjaga dan menghabiskan waktu bersama anaknya, menyetok ASI, dan melatih anak untuk
berangsur-angsur ditinggal sebagai persiapan sebelum Anggi kembali bekerja.
BANYAK PEREMPUAN RESIGN PASCA-MELAHIRKAN, CUTI HAMIL SAJA TAK CUKUP
Semakin lama cuti hamil, kecil kesempatan perempuan naik jabatan, masuk ke posisi
manajemen, atau menerima kenaikan gaji.
Bagi Anggi (37), mengambil cuti hamil tidak berdampak buruk pada kariernya. Pada 2010,
perempuan yang bekerja di sebuah media ini mengambil cuti hamil selama tiga bulan untuk
kelahiran anak pertamanya. Dimulai sekitar seminggu jelang persalinan, cuti hamil ia manfaatkan
untuk beradaptasi menjadi ibu baru, menjaga dan menghabiskan waktu bersama anaknya,
menyetok ASI, dan melatih anak untuk berangsur-angsur ditinggal sebagai persiapan sebelum
Anggi kembali bekerja.
Anggi ingat ia tak kesulitan untuk kembali beradaptasi dengan ritme kerjanya setelah masa cuti
hamil berakhir. Tapi, itu bukan sesuatu yang ia pandang sebelah mata ( take for granted ) :
lingkungan kantor memberikan keleluasaan baginya untuk pulang cepat atau memompa ASI .
Teman-teman kantor senantiasa membantu .
Anggi juga mempekerjakan asisten rumah tangga yang sudah berpengalaman mengasuh anak.
Sang suami pun tak pernah absen.
"Kalau nggak ada support system, sudah tentu bakal beda. Bisa saja aku mempertimbangkan
resign jika aku nggak punya asisten yang cakap mengasuh anak. Aku juga akan terpaksa bekerja
sampai larut malam dan nggak punya waktu bareng anak kalau kantor nggak punya belas
kasihan," ujar Anggi kepada Tirto (24/2).
Perkara hamil, melahirkan, dan mengambil cuti hamil seringkali masih jadi sebuah dilema bagi
perempuan. Di Indonesia, meski telah diatur dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, hak cuti hamil tak berlaku bagi pekerja perempuan di sektor informal atau
pekerja paruh waktu.
Tapi, selepas cuti hamil pun, perempuan kerap dihadapkan hanya pada dua pilihan: kembali
bekerja dan mesti menanggung beban domestik sekaligus, atau fokus pada kerja domestik dan
kehilangan karier.
Fenomena ini juga yang ditemukan oleh peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Fathimah Fildzah Izzati. Pada 2018, Fildzah melakukan penelitian terhadap 20 ibu rumah tangga
di sejumlah kota di Indonesia yang terjun ke bisnis toko daring berbasis media sosial (TDMS).
Menurut hasil penelitiannya, perempuan kelas bawah yang mengelola bisnisnya sendiri sembari
mengurus rumah tangga cenderung kewalahan.
Meski bisnis TDMS ini awalnya diniatkan sebagai kerja sampingan, tetapi para responden
merasakan fleksibilitas kerja sebagai ilusi semata. Mereka pun kerap mesti bekerja lebih dari 8
jam per hari. Dalam studi yang telah dipublikasikan sebagai "Women's Work In Indonesia's Social
240