Page 242 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 3 MARET 2021
P. 242
Media-Based Online Store Businesses: Social Reproduction and the Feminization of Work" (2020),
salah satu responden mengaku betapa sulitnya "menyeimbangkan pekerjaan sebagai reseller
dan dropshipper di bisnis online shop" dengan pekerjaan di rumah mengurus anak dan suami.
"Jika ingin sukses, sepertinya kita harus mengorbankan salah satunya," ujarnya.
Riset yang sama melaporkan hanya perempuan kelas menengah atas yang dapat
mempertahankan bisnisnya karena mampu mempekerjakan pekerja rumah tangga atau
pengasuh anak. "Maka dari itu online shop mereka bisa sukses dan keluarganya terurus," terang
Fildzah kepada Tirto (24/2).
Namun, terlepas dari beban yang mesti ditanggung perempuan, kerja adalah sebuah kebutuhan-
-dan seringkali jadi satu-satunya cara untuk melepaskan diri dari hubungan suami-istri yang tidak
setara. Fildzah menemukan bahwa kebanyakan ibu rumah tangga memutuskan untuk berbisnis
online shop karena ingin melepaskan diri dari urusan rumah tangga. Menurut mereka, jika sang
suami saja tidak berkontribusi apa-apa, kenapa mereka tidak boleh beristirahat sejenak? Ada
pula yang tidak ingin bergantung kepada suami dengan memiliki pendapatan sendiri.
Bagi Fildzah, supaya perempuan bisa kembali bekerja dan mendapatkan independensinya, kerja-
kerja reproduksi sosial mesti dapat ditanggung bersama di masyarakat. "Atau, minimal, dengan
suaminya." Supaya beban kerja dapat terbagi rata, cuti hamil juga jadi dibutuhkan bagi pihak
suami ( paternity leave).
"Kalau cuma buat perempuannya, nanti dia kesulitan sendirian di rumah. Jadi sama saja." Serba-
serbi Cuti Hamil Cuti hamil dan melahirkan adalah hak perempuan. International Labour
Organization (ILO) menetapkan standar cuti hamil selama minimal 14 minggu dan memberikan
rekomendasi kepada negara-negara anggota untuk meningkatkan periodenya hingga setidaknya
18 minggu. Dalam "Maternity and Paternity at Work: Law and Practice Across The World" (PDF,
2014), ILO menyebutkan jangka waktu ini jadi penting bagi perempuan untuk memulihkan diri
dari proses melahirkan dan dapat kembali bekerja dengan tetap dapat memberikan perhatian
kepada anaknya.
Namun, mengambil cuti hamil kerap juga jadi pedang bermata dua. Laporan berjudul "The
Economic Consequences of Family Policies: Lessons from a Century of Legislation in High-Income
Countries" menemukan bahwa semakin panjang jangka waktu cuti hamil yang diambil
perempuan, semakin kecil pula kesempatan untuk naik jabatan, masuk ke posisi manajemen,
atau menerima kenaikan gaji. Risiko dipecat atau turun jabatan pun lebih besar.
Sementara itu, berbeda dengan perempuan, karier laki-laki yang memiliki anak hampir tidak
berdampak. Bahkan, karier laki-laki cenderung menanjak setelah memiliki anak: laki-laki yang
memiliki anak punya kesempatan lebih besar untuk direkrut dibandingkan yang tidak. Mereka
pun punya kesempatan lebih besar untuk diupah lebih besar setelah punya anak .
Penyebab perempuan tertinggal dari laki-laki ini dapat dibagi ke dalam dua faktor. Pertama, kerja
domestik seringkali masih dianggap sebagai tanggung jawab perempuan semata: mulai dari
pekerjaan rumah tangga, mengurus anak, merawat anak yang sedang sakit, hingga merawat
anggota keluarga lain seperti orang tua yang telah lanjut usia.
Studi PBB berjudul "Men in Families and Family Policy in the Changing World" (2011) yang
dilakukan di sejumlah negara berkembang menemukan fakta bahwa rata-rata waktu yang
dihabiskan perempuan untuk melakukan kerja-kerja tak dibayar mencapai dua kali lipat lebih
banyak dibandingkan laki-laki. Di India dan negara-negara berpendapatan rendah lainnya, waktu
yang dihabiskan perempuan bisa mencapai 10 kali lebih besar.
Infografik Maternity Leave & Putus Kerja. tirto.id/Quita Kedua, dukungan perusahaan terhadap
pekerja perempuan yang telah memiliki anak, seperti ada atau tidaknya opsi fleksibilitas waktu
241