Page 44 - KLIPING KETENAGAKERJAAN 16 OKTOBER 2020
P. 44
alasan PHK yang dihilangkan oleh UU Cipta Kerja, sehingga pemenuhan alasan PHK menjadi
lebih mudah dan sederhana.
Misalnya, PHK dengan alasan perusahaan mengalami kerugian terus-menerus. Dalam UU
Ketenagakerjaan, disyaratkan bahwa kerugian perusahaan harus dibuktikan dengan laporan
keuangan dua tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik. Ketentuan ini dihapus dalam
UU Cipta Kerja.
Selain itu, alasan PHK dalam UU Cipta Kerja juga lebih longgar. Berbeda dengan UU
Ketenagakerjaan yang mengatur alasan PHK secara limitatif dan rigid. Dalam UU Cipta Kerja,
dimungkinkan pengusaha menambah sejumlah alasan lain PHK melalui perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Boleh jadi, ini yang dikhawatirkan bahwa
ke depan akan lebih mudah bagi pengusaha untuk melakukan PHK.
UU Cipta Kerja juga menghapus ketentuan Pasal 161 sampai Pasal 169 UU Ketenagakerjaan.
Sebelumnya, pasal-pasal ini mengatur tentang perhitungan besaran kompensasi PHK yang
dikaitkan dengan alasan PHK.
Patut dicatat, alasan PHK juga memengaruhi perhitungan besaran kompensasi PHK. Keduanya
ibarat dua sisi mata uang yang sama, saling terkait.
Dibandingkan dengan UU Ketenagakerjaan, perhitungan besaran kompensasi PHK lebih mudah
dan sederhana. Untuk PHK dengan alasan perusahaan tutup karena mengalami kerugian,
misalnya, pekerja berhak mendapatkan kompensasi pesangon sebanyak satu kali, penghargaan
masa kerja satu kali, ditambah penggantian hak.
Ketentuan seperti ini tidak lagi ditemukan dalam UU Cipta Kerja, tetapi akan diatur lebih lanjut
dalam peraturan turunannya (peraturan pemerintah/PP). Dan, ini akan membuat bola panas
bergeser ke penyusunan materi PP. Penentuan besaran kompensasi PHK yang dikaitkan dengan
alasan PHK membuat penyusunan materi PP menjadi tidak mudah. Diperlukan dialog yang lebih
terbuka agar rumusan PP mengenai hal ini dapat diterima semua pihak.
UU Cipta Kerja masih mengadopsi ketentuan sebelumnya mengenai komponen kompensasi PHK,
yang terdiri dari pesangon, penghargaan masa kerja (PMK) dan penggantian hak (PH), dengan
sedikit perubahan. Jika sebelumnya komponen PH ditetapkan sebesar 15 persen dari pesangon
dan PMK, kini ketentuan itu dihilangkan dalam UU Cipta Kerja.
Tidak begitu jelas, apa yang menjadi alasan filosofis sehingga komponen kompensasi PHK harus
dikelompokkan seperti itu. Ketika diterapkan, makna pengelompokan kompensasi PHK justru
menjadi kabur.
Komponen PMK---sesuai namanya---semestinya ditempatkan sebagai semacam apresiasi atas
usia pengabdian pekerja, yang sesuai ketentuan baru muncul jika masa kerja telah mencapai
tiga tahun atau lebih.
Meski telah memenuhi syarat, pekerja ternyata juga dapat kehilangan PMK sehingga maksud
dan tujuan pemberian PMK justru menjadi kabur. Misalnya, PHK dengan alasan mengundurkan
diri. Berdasarkan ketentuan UU Ketenagakerjaan, ia hanya mendapat kompensasi PH dan uang
pisah. Sementara atas komponen PMK, tidak berhak sama sekali meski ia telah memenuhi syarat.
Tidak jelas apa yang menjadi pertimbangan sehingga pemberian PMK harus dikaitkan dengan
sebab musabab terjadinya PHK. Secara konsep, pemberian PMK adalah bentuk penghargaan
atas masa pengabdian pekerja. Dan semestinya tetap melekat meski di kemudian hari ia khilaf
berbuat salah atau mengundurkan diri.
43