Page 28 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 15 OKTOBER 2020
P. 28
Sistem perlindungan yang dibangun selama ini seperti nyaris tak berkutik untuk melindungi satu
per satu rakyat yang bertumbangan, bukan saja secara fisik, tapi juga sosial dan ekonomi. Resesi
mengancam.
Ditelanjangi Pandemi
Eksistensi sebuah negara yang lebih sering tampak dalam balutan peran-peran politik, hukum,
dan administratif saat ini seperti tengah tertelanjangi. Segala bentuk formalitas birokrasi dan
tetek bengek protokoler kenegaraan pada akhirnya harus tunduk di hadapan kenyataan bahwa
itu semua bukanlah sebuah kemutlakan.
Bahwa ada sesuatu yang lebih esensial dari keberadaan sebuah institusi negara. Kesejahteraan
rakyat. Politik dan hukum yang sering kali diangkat ke permukaan sebagai komponen penting
sebuah negara mesti diletakkan dalaMKerangka mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat seluas-
luasnya.
Namun, sayangnya, sejarah panjang kekuasaan dari dulu hingga kini sangat jarang yang
menampilkan kondisi ideal ini. Negara lebih menampakkan wajah kekuasaan secara dominan
ketimbang aspek kesejahteraan. Aspek kesejahteraan dalam praktiknya lebih cenderung tampak
sebagai kosmetik bagi aspek politik sehingga semuanya berujung pada satu narasi bahwa
penyelenggaraan negara adalah tentang politik kekuasaan.
Pandemi ini seolah datang untuk menelanjangi itu semua. Ia tidak semata berdampak pada
persoalan kesehatan, tetapi meluas ke berbagai aspek kehidupan masyarakat. Di antara dampak
luas yang sangat dirasakan adalah pada aspek sosial dan ekonomi, yang sesungguhnya sangat
vital dalaMKehidupan bernegara.
Pemerintah kita yang awalnya berusaha menampakkan "ketenangan" dan optimisme di masa
mulai merebaknya wabah ini, pada akhirnya tetap harus tunduk pada kenyataan. Gelombang
pandemi ini terlalu dahsyat untuk bisa dihadapi hanya dengan retorika.
Krisis dan Kesejahteraan
Pada akhirnya, situasi krisis semacam ini yang bisa membangunkan kita dan menyadarkan
tentang tujuan esensial dari keberadaan sebuah negara. Amartya Sen (2020), seorang Guru
Besar Harvard dan sekaligus peraih Nobel Ekonomi, memandang bahwa kondisi krisis akibat
pandemi ini bisa memunculkan sesuatu yang baik. Ia merujuk pada bagaimana rentetan krisis
sejak dan setelah Perang Dunia kedua telah membawa pada kemunculan satu paradigma baru
dalam bernegara, yaitu negara kesejahteraan (welfare state).
Dilanda tingginya angka kekurangan gizi warganya selama Perang Dunia kedua akibat minimnya
ketersediaan pangan, Inggris mengatur satu mekanisme distribusi pangan yang lebih merata.
Warga yang mengalami kekurangan gizi kronis diberikan makanan yanglebih baik. Ini juga
disertai dengan perhatian pada pelayanan kesehatan yang lebih baik dan merata. Dampaknya
mengagumkan, angka harapan hidup untuk kelahiran naik cukup tinggi pada dekade berikutnya.
Inti dari konsep negara kesejahteraan ini adalah hadirnya institusi negara sebagai sebuah sistem
yang melindungi dan memfasilitasi warganya secara adil dan merata untuk bisa mewujudkan
kehidupan yang sejahtera. Pada dasarnya, ini adalah sesuatu yang tak terhindarkan dalam
penyelenggaraan negara, bukan semata sebuah gagasan tentang kebaikan. Kesejahteraan
warga merupakan penopang utama eksistensi dan keberlangsungan sebuah negara.
Bahkan, Adam Smith (1776), sang penggagas konsep invisible hand dan dijuluki sebagai bapak
kapitalisme, meyakini hal ini. Ia menyatakan setidaknya ada dua hal utama yang menjadi tugas
negara, 1) melindungi setiap warga dari segala bentuk ancaman keamanan dan 2) menjamin
kesejahteraan setiap warga. Keduanya saling terikat dan tidak bisa dipisahkan.
27