Page 26 - KLIPING KETENAGAKERJAAN 1 NOVEMBER 2021
P. 26
Sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) RI, Adi Mahfudz Wuhadji,
mengatakan perhitungan kenaikan upah minimum tahun 2022 masih menunggu data dari Badan
Pusat Statistik (BPS). Adi mengatakan, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) sudah
menggelar dialog bersama Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) dan Badan Pekerja Lembaga
Kerja Sama Tripartit Nasional (BP LKS Tripnas) pada 21 Oktober sampai dengan 22 Oktober 2021
untuk membahas terkait upah minimum tahun depan ini.
Melalui dialog tersebut diperoleh sejumlah kesepakatan. Selain penyamaan persepsi tentang
implementasi upah minimum di 2022 juga disepakati bahwa para stakeholder akan menunggu
kelengkapan data dari BPS untuk menetapkan upah minimum di 2022. Depena, menurut Adi,
meminta Kemenaker bisa menetapkan acuan normatif yang dimaksud sebelum tanggal 10
November 2021.
"Dengan begitu nanti tentu kalau berbicara penetapannya tergantung data hasil BPS. Jadi kami
tidak bisa mengintisarikan dan berasumsi sebelum menerima data dari BPS yang dimaksud," ujar
Adi, seperti dikutip kontan,id, Selasa (26/10).
Dalam PP 36 nomor 2021 tentang Pengupahan disebutkan, upah minimum ditetapkan
berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan yang
dimaksud meliputi variabel paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja dan median upah.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit SPSI, Roy Jinto,
mengatakan pemerintah seharusnya tetap mengacu pada PP Nomor 78 Tahun 2015 untuk
menetapkan UMK 2022. PP Nomor 36 Tahun 2021 seharusnya diabaikan karena aturan itu
mengacu UU Cipta Kerja, sementara UU Hak Cipta masih dalam proses gugatan secara formil
maupun materil di Mahkamah Konstitusi.
"Kalau undang-undang induknya sedang diuji secara hukum, dan misalkan MK ternyata
memutuskan untuk membatalkan aturan tersebut, tapi Pemerintah daerah bersikukuh
menetapkan UMK berdasarkan acuan UU yang sudah dibatalkan, masa iya mau tetap dipaksakan
dengan mengacu pada aturan tanpa landasan hukum?" ujar Jinto.
Dalam PP 36/2021, kata Jinto, juga dijelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi dan inflasi di
kabupaten/kota yang lebih positif dalam tiga tahun terakhir dibandingkan dengan pertumbuhan
ekonomi dan inflasi di tingkat provinsi, menjadi syarat dalam pertimbangan penetapan UMK.
Namun faktanya, selama ini, ujat Jinto, di Jawa Barat, tidak semua kabupaten/kota terdapat
Badan Pusat Statistik (BPS) yang menghitung pertumbuhan ekonomi dan inflasi daerahnya
masing-masing.
"Di Bandung Raya, misalnya. Karena tidak semua daerah ada BPS yang menghitung
pertumbuhan ekonomi dan inflasi daerahnya, maka mereka menginduk atau
mempertimbangkannya berdasarkan melihat pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang terjadi di
Kota Bandung. Begitu juga daerah Ciayumajakuning yang melihat kondisi dari Cirebon. Padahal
berdasarkan aturan dalam PP Nomor 36/2021 diwajibkan setiap daerah harus merilis atau
menghitung pertumbuhan ekonomi dan inflasi masing-masing sebagai acuan penetapan UMK,"
ucapnya.
"Apabila pemerintah tetap mengacu pada aturan PP Nomor 36/2021, maka sudah dapat
dipastikan bahwa tiga-empat tahun kedepan mayoritas daerah tidak akan terjadi kenaikan UMK."
Hal senada juga dikatakan Ketua SPSI Karawang, Ferry Nurzarli. Ia juga menyebut UMK tak akan
mengalami kenaikan Jika aturan ini diberlakukan.
'Turun enggak, tetapi enggak naik. Jadi ditahan. Karena ada batasan minimal dan maksimal itu,"
ujarnya melalui telepon, kemarin. Itu sebabnya, kata Ferry, mereka melakukan penolakan.
"Sebab, ini sangat merugikan buruh," katanya, (cipta permana/cikwan/kontan)
25