Page 18 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 20 NOVEMBER 2020
P. 18
Aspek krusial
Masalah paling krusial dan sangat menentukan masa depan program JKP dalam jangka panjang
adalah aspek pendanaan. Perlu kehati-hatian dan perhitungan aktuarial yang komprehensif agar
kesinambungan program terjaga. Pengalaman negara lain yang lebih dulu menyelenggarakan
program jaminan pengangguran, pembiayaan atau iuran lazimnya ditanggung tripartit
(pemerintah, pengusaha, pekerja).
Di Malaysia, iuran jaminan pengangguran 0,4 persen dengan komposisi pengusaha (0,2 persen),
pekerja (0,2 persen) dari plafon maksimum upah 4.000 ringgit. Vietnam memberlakukan iuran
2 persen dari upah/gaji kotor, dengan pembagian beban; pengusaha (1 persen) dan pekerja (1
persen). Di Thailand 1,25 persen dari upah sebulan (maksimum upah 15.000 baht) dan
pembebanannya pemerintah (0,25 persen), pengusaha (0,5 persen) dan pekerja (0,5 persen).
Untuk konteks Indonesia, UUCK mengatur sumber pendanaan JKP dari modal awal pemerintah,
rekomposisi iuran program jaminan sosial, dan/atau dana operasional BPJS Ketenagakerjaan.
Modal awal pemerintah ditetapkan paling sedikit Rp 6 triliun, dari APBN. Mengandalkan modal
pemerintah dengan kapasitas APBN terbatas jelas tak memadai, sementara pengusaha dan
pekerja sudah disepakati oleh pembuat UU tak akan dikenai tambahan iuran.
Untuk memastikan program JKP berkelanjutan, UU memberi dua sumber pendanaan alternatif
untuk dioptimalkan: rekomposisi iuran program jaminan sosial dan/atau dari dana operasional
BPJS-TK. Rekomposisi iuran jaminan sosial peluangnya hanya bisa diambil dari iuran program
yang bersifat asuransi (JKK dan JKM), tak mungkin dari iuran program bersifat tabungan (JHT
dan JP) karena pasti ditolak buruh.
Iuran JKK Penerima Upah saat ini terdiri atas lima kluster berdasarkan jenis risiko kerja: 0,24
persen (risiko sangat rendah), 0,54 persen (rendah), 0,89 persen (sedang), 1,27 persen (tinggi),
dan 1,74 persen (sangat tinggi). Sementara iuran JKM 0,3 persen dari upah sebulan. Kedua jenis
iuran ini selama ini ditanggung pengusaha, tanpa ada pembatasan upah sebagai dasar iuran.
Untuk menetapkan berapa penyesuaian iuran yang diperlukan untuk program JKK dan JKM,
seyogianya dilakukan kajian komprehensif. Ini untuk menjaga agar kedua program tetap secure
dan sustain. Pemerintah melalui PP No 82/2019 baru menaikkan benefit kedua program itu. Tapi,
dari persentase eksisting, kita bisa merekomendasi besaran iuran JKK dan JKM yang dapat
dikurangi dan kemudian dialihkan jadi iuran JKP, masing-masing maksimal 0,1 persen, sehingga
total menjadi 0,2 persen (mirip beban pengusaha di Malaysia) dari upah sebulan tanpa
pembatasan upah sesuai prinsip gotong royong.
Bagaimana dengan sumber iuran JKP yang berasal dari dana operasional BPJS-TK? Jika merujuk
PP No 55/2015 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, peluangnya sangat
kecil. Sebab, sebagai penyelenggara, seyogianya BPJS-TK berhak dapat dana operasional dari
penyelenggaraan program JKP, sebagaimana yang selama ini diperoleh dari persentase
akumulasi iuran JKK, JKM, JHT, dan J P, serta hasil pengembangannya (masing-masing
maksimum 10 persen).
Ada dua opsi untuk dapat sumber iuran dari dana operasional BPJS-TK: persentase biaya
operasional JKP dialokasikan lebih rendah dibanding program lain atau BPJS-TK wajib beroperasi
lebih efisien. Hasil efisiensi sebagian dihibahkan untuk program JKP. Secara empiris dari semua
program jaminan sosial, JPK paling rumit untuk diimplementasikan, baik dari segi tata kelola,
organisasi, administrasi, maupun operasionalnya. Program ini akan sulit sekali diselenggarakan
tanpa adanya mekanisme pasar kerja yang efektif. Mekanisme ini butuh hadirnya pusat informasi
pasar kerja yang akan menyediakan informasi lowongan kerja, kebutuhan tenaga kerja,
pendaftaran pencari kerja, dan administrasi penempatan tenaga kerja yang harus
diselenggarakan oleh suatu instansi khusus.
17