Page 16 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 20 NOVEMBER 2020
P. 16
JKP akan diberikan kepada pekerja yang mengalami PHK agar dapat mempertahankan derajat
kehidupan yang layak. Peserta JKP adalah setiap orang yang membayar iuran. Iuran peserta tak
dibebankan kepada pengusaha dan pekerja, tapi akan dibayar pemerintah. Manfaat JKP berupa
uang tunai (cash benefit), akses informasi pasar kerja (job placement informatiori), dan pelatihan
kerja (vocational training). Manfaat akan didapatkan peserta setelah mempunyai masa
kepesertaan tertentu dan diberikan paling banyak enam bulan upah.
Munculnya program JKP sebagai kompromi atas kontroversi pesangon ternyata menimbulkan
dilema di kalangan serikat pekerja. Sebagian besar buruh menyambut baik kehadiran program
JKP, tapi menolak pengurangan pesangon. Kelompok buruh lain berpikir lebih realistis dan dapat
memahami pengurangan jumlah pesangon. Mereka justru bergembira karena dikompensasi
dengan hadirnya JKP. JKP identik dengan asuransi atau jaminan pengangguran yang selama ini
disuarakan kaum buruh, sebagaimana dianjurkan dalam Konvensi ILO No 102/1952.
Setidaknya ada empat argumen mengapa program JKP perlu diapresiasi. Pertama, JKP menjadi
simbol bahwa program jaminan pengangguran secara resmi diadopsi dan diletakkan dalam
kerangka sistem jaminan sosial nasional sehingga tata kelolanya jadi lebih baik, lebih pasti,
terstruktur, dan akuntabel.
Melengkapi program jaminan sosial lainnya, JKP sangat dibutuhkan dalam kondisi perekonomian
memasuki era industrialisasi, di mana tenaga kerja kian besar ketergantungannya pada upah
yang diterima. Program jaminan pengangguran sudah diimplementasikan banyak negara di
Eropa dan Asia Pasifik yang sudah memasuki era industri.
Kedua, dalam praktiknya, pemberian pesangon kepada korban PHK kerap merugikan pekerja.
Banyak perusahaan membayar pesangon tak sesuai ketentuan sehingga acap menimbulkan
sengketa dengan pekerja. Dalam sengketa ini, posisi tawar buruh sangat lemah dan selalu
menjadi pihak yang kalah.
Ketiga, berdasarkan Sake mas BPS per 2018, hanya 7 persen pekerja yang menerima pesangon
sesuai UU Ketenagakerjaan No 13/2003. Jadi, jumlah pesangon dalam UU No 13/2003 ibarat
fatamorgana. Indah, menyenangkan, dan gagah dalam UU, tapi realitasnya tak pernah dinikmati
buruh secara utuh.
Keempat, hadirnya JKP menjadi momentum untuk mengembalikan filosofi dan hakikat program
JHT untuk kepentingan ha-ri tua, yang selama ini difungsikan sebagai katup pengaman buruh
saat mengalami PHK. PP No 60/2015 tentang JHT dan Permenaker No 19/2015 tentang tata cara
dan persyaratan pembayaran manfaat JHT sudah saatnya direvisi agar spiritnya sejalan dengan
amanat UU No 40/2004 tentang SJSN.
Standar ILO
Meski prinsip-prinsip penyelenggaraan JKP sudah dicantumkan dalam UUCK, program ini tak
otomatis bisa diimplementasikan segera. JKP butuh penjabaran dan aturan lebih teknis. Masih
banyak isu atau pekerjaan rumah yang harus segera dibereskan supaya program ini menjadi
realitas.
Dalam konteks implementasi JKP, ILO sudah menerbitkan panduan yang jadi standar acuan bagi
negara anggota. Standar ini tertuang dalam dua konvensi: Konvensi ILO 102 Tahun 1952
mengenai Standar Minimal Jaminan Sosial (K102) dan Konvensi 168 Tahun 1988 mengenai
Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran (K168). Merujuk standar
ILO, aspek-aspek yang perlu klarifikasi dan derivasi lebih lanjut terkait JKP meliputi: cakupan
kepesertaan, syarat kualifikasi peserta, durasi tunjangan, tingkat atau besaran tunjangan,
kelanjutan tunjangan, masa tunggu, besaran iuran.
15