Page 110 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 5 OKTOBER 2020
P. 110

Bahkan mungkin jika tak sempat ditunda, RUU ini bisa selesai lebih cepat lagi. Seperti diketahui,
              pemerintah dan Baleg DPR RI memang sempat menunda pembahasan Klaster Ketenagakerjaan
              setelah mendapat perintah resmi dari Presiden Joko Widodo pada 24 April 2020 lalu.

              Namun,  di  luar  itu,  eksekutif  dan  legislatif  seperti  kompak  merampungkannya  secara  cepat.
              Bukan kali ini saja pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dibahas pada malam hari pada
              masa reses. Alasan: demi kemudahan investasi di Indonesia.

              Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlang-ga Hartarto, wakil pemerintah dalam rapat
              itu, menyebut bahwa RUU ini akan mendorong adanya efisiensi ataupun debirokratisasi karena
              mempermudah dan mempercepat proses perizinan berusaha, terutama bagi UMKM dan koperasi.

              UMKM  mendapatkan  kemudahan,  termasuk  perusahaan  terbuka  perseorangan,  yaitu dengan
              hanya  mendaftar  dan  berbiaya  kecil.  "Koperasi juga  dipermudah,  sertifikat  halal  dipermudah
              melalui perguruan tinggi dan ormas Islam dengan fatwa MUI," tuturnya.

              Selain itu, RUU Cipta Kerja diklaim dapat memberikan perlindungan terhadap masyarakat yang
              selama ini sudah menggarap lahan di kawasan hutan, mempermudah perizinan bagi nelayan,
              menyediakan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah serta bank tanah untuk reformasi
              agraria.

              Sementara itu, bagi para buruh, menurut pemerintah, regulasi ini juga memberikan berbagai
              kepastian,  antara  lain  adanya  jaminan  kehilangan  pekerjaan,  persyaratan  ketat  PHK,  dan
              memperkuat hak pekerja perempuan, seperti cuti haid ataupun cuti hamil yang sudah ada di
              dalam UU Ketenagakerjaan.

              Airlangga  memastikan  bahwa  RUU  Cipta  Kerja  juga  memberikan  peran  yang  jelas  bagi
              pemerintah daerah dalam proses pemberian perizinan yang disesuaikan dengan norma standar
              persyaratan dan kriteria (NPSK) dari pemerintah pusat serta rancangan tata ruang dan wilayah
              (RTRW) dan kebijakan satu peta.
              "RUU  ini  juga  memberikan  perizinan  berbasis  risiko  untuk  memperkuat  daya  saing  dan
              produktivitas di bidang-bidang usaha terkait serta memberikan sanksi administrasi dan pidana
              yang jelas terkait lingkungan hidup dan apabila terjadi kecelakaan kerja," kata Airlangga.

              Meskipun demikian, di sisi lain, RUU ini juga sarat penolakan, utamanya dari kalangan buruh
              serta aktivis hak asasi manusia dan lingkungan. Pasalnya, alih-alih menyejahterakan, RUU ini
              dianggap  hanya  menguntungkan  para  pengusaha,  dapat  menggusur  masyarakat  adat,  serta
              berpotensi mengganggu lingkungan dan kelestarian alam.

              Sejumlah pasal di dalam RUU Omnibus Law dianggap serikat buruh akan merugikan posisi tawar
              pekerja. Salah satu yang jadi sorotan adalah Pasal 79 yang menyatakan, istirahat hanya sehari
              per minggu. Jika disahkan, pemerintah dianggap memberikan legalitas bagi pengusaha yang
              selama ini menerapkan jatah libur hanya sehari dalam sepekan. Sementara libur dua hari per
              minggu dianggap sebagai kebijakan tiap-tiap perusahaan yang tidak diatur oleh pemerintah. Hal
              ini dinilai melemahkan posisi pekerja.

              Ketentuan di dalam RUU Cipta Kerja ini berbeda dengan regulasi sebelumnya, yakni UU 13 Tahun
              2003 tentang Ketenagakerjaan, di mana pengusaha wajib memberi waktu istirahat mingguan,
              satu dan dua hari bagi pekerjanya. "1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu)
              minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu," demikian bunyi Pasal
              79 UU Nomor 13 Tahun 2003.

              Beberapa  ketentuan  juga  dianggap  kontroversial,  antara  lain  terkait  dengan  pekerja  kontrak
              (perjanjian kerja dengan waktu tertentu/-PKYVT), upah, pesangon, hubungan kerja, mekanisme


                                                           109
   105   106   107   108   109   110   111   112   113   114   115