Page 34 - KLIPING KETENAGAKERJAAN 27 DESEMBER 2021
P. 34
Penelitian Dewan Pengupahan-Nasional (2002) mendefinisikan bahwa penetapan upah
berkeadilan merupakan suatu penerimaan kerja yang berfungsi sebagai jaminan kelangsungan
kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan produksi. Frasa kata "layak bagi kemanusiaa n dan
produksi " menunjukkan sisi keadilan bagi buruh dan pengusaha.
PP Pengupahan diharapkan dapat menciptakan hubungan industrial yang harmonis, khususnya
pada situasi pandemi yang berpengaruh besar terhadap pert umbuhan ekonomi dan inflasi. Oleh
karena itu, formulasi PP Pengupahan tidak lagi berdasarkan pada pertumbuhan ekonomi dan
inflasi. Berdasarkan PP Pengupahan terbaru, kenaikan upah mengacu pada kondisi ekonomi dan
ketenagakerjaan dengan memperhitungkan batas atas dan bawah upah minimum.
Menuai polemik
Froid (2016), pakar hubungan industrial menjelaskan bahwa model kebijakan pengupahan
dengan menggunakan batas atas dan batas minimum bertujuan untuk menciptakan kepastian
dalam berusaha sekaligus memberikan jaminan kenaikan upah yang adil bagi pekerja.
Mazhab inilah yang diadopsi dalam UUCK, mengingat sebagaimana diketahui bahwa UUCK
dimaksudkan untuk menciptakan kepastian hukum di bidang investasi sekaligus menciptakan
lapangan pekerjaan.
Menteri Ketenagakerjaan telah menerbitkan Surat Edaran (SE) kepada para gubernur di seluruh
Indonesia melalui SE Nomor 561/6393/Sj mengenai penetapan upah minimum tahun 2022 agar
mempedomani pada formula yang telah ditentukan secara normatif di PP 36/2021 tentang upah.
Polemik mulai muncul ketika dalam perundingan penetapan upah, gubernur menetapkan upah
minimum di luar model 'batas atas-batas bawah' sebagaimana formula penetapan upah dalam
PP Pengupahan. Misalnya di Provinsi DKI Jakarta, saat ini Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan
menetapkan upah di luar formula yang ditetapkan secara normatif dalam PP Pengupahan.
Jika formula kebijakan pengupahan yang terkandung dalam PP Pengupahan dirasa tidak tepat
maka seharusnya langkah hukum yang tepat adalah melakukan revisi pada PP Pengupahan, baik
melalui jalur eksekutif (mekanisme revisi Peraturan Perusahaan) maupun melalui jalur uji materiil
(judicial review). Cara ini untuk mengubah formulasi penetapan kebijakan pengupahan dalam
PP Pengupahan yang akan dipedomani para gubernur untuk menetapkan upah minimum
nantinya.
Jika dalam penetapan upah minimum gubernur tidak mempedomani PP Pengupahan yang
berlaku saat ini, kebijakan penetapan upah minimum nantinya akan berpotensi cacat hukum dan
justru menimbulkan ketidakpastian hukum. Kebijakan gubernur dalam menetapkan upah
minimum yang tidak sesuai dengan formulasi PP Pengupahan bertentangan dengan asas
kepastian hukum dalam penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, akan sangat mungkin
kebijakan penetapan upah minimum yang menyimpang dari PP Pengupahan dibatalkan melalui
pengadilan dan akibatnya justru menimbulkan ketidakpastian, baik bagi kalangan pengusaha
maupun pekerja.
Demikian juga pentingnya mempedomani PP Pengupahan adalah untuk menciptakan
keseragaman kebijakan pengupahan secara nasional sehingga menjawab kebutuhan kepastian
hukum, baik bagi pengusaha maupun sektor ketenagakerjaan. Dalam hal ini perlu ditegaskan
bahwa PP Pengupahan tidak terdampak Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/ PUU-
XVIII/2020 yang menyatakan bahwa UUCK dinyatakan inkonstitusional bersyarat yang
disebabkan adanya cacat formal dalam pembentukannya.
Dalam amar keempat putusan MK tersebut tentang UUCK menyebutkan bahwa UUCK sebagai
aturan induk dari PP Pengupahan masih tetap berlaku 'setidaknya hingga dua tahun yang akan
33