Page 79 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 11 FEBRUARI 2021
P. 79
Kehilangan Pekerjaan (JKP). Namun program baru ini ditengarai sekadar janji manis kepada
buruh setelah ketentuan pesangon diturunkan lewat UU No. 11/2021 tentang Cipta Kerja.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan program ini setengah hati karena
dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang JKP edisi 4 Februari 2021 justru memuat
ketentuan yang berpotensi menjauhkan pekerja dari jaminan baru ini.
Syarat kepesertaan haruslah mereka yang mengikut program lain, yaitu Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP)
dan Jaminan Kematian (JKM). Disebut wajib karena dalam Pasal 4 ayat (3) kata yang digunakan
adalah "dan", alih-alih "dan/atau" yang memungkinkan syarat dipenuhi sebagian. Syarat ini juga
disampaikan oleh Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah saat rapat bersama Komisi IX DPR pada
Senin 18 Januari 2021.
"Kalau begini akan banyak pekerja tidak mendapat JKP," ucap Timboel kepada reporter Tirto,
Selasa (9/2/2021).
Jumlah pekerja penerima upah atau formal-swasta mencapai 43 juta orang, tetapi Timboel
mencatat per 21 Desember 2020 hanya 20 juta orang yang terdaftar di JKK dan 16,8 juta orang
di JKN. Ia juga mengatakan tidak semua perusahaan mendaftarkan pekerjanya untuk lima
jaminan itu. Sering kali pekerja hanya didaftarkan salah duanya saja dari keseluruhan jaminan.
Pasal 19 ayat (3) juga dianggap bermasalah. Pasal itu menetapkan manfaat JKP hanya dapat
diakses pekerja dengan masa iur paling sedikit 12 bulan dan telah membayar minimal 6 bulan
berturut-turut sebelum PHK.Timboel bilang syarat itu, lagi-lagi, akan sulit dipenuhi karena sudah
menjadi rahasia umum bahwa sebagian pengusaha kurang disiplin memenuhi hak para
pekerjanya. Mulai dari terlambat mendaftarkan sehingga pekerja kehilangan masa kepesertaan
hingga potensi menunggak sesudah iuran pertama.
Timboel juga menyoroti potensi diskriminasi JKP karena hanya mencakup korban PHK. Dalam
pasal 20 ayat (1) RPP, JKP disebutkan tidak berlaku bagi pekerja yang mengundurkan diri.
Menurutnya pekerja yang mengundurkan diri seharusnya tetap berhak memperoleh JKP karena
aktif membayar iuran.
Sebagai pembanding, saldo BPJS TK yang diperoleh dari iuran rutin pekerja saja bisa dicairkan
meski posisi yang bersangkutan bukan korban PHK.
Ketentuan ini juga bermasalah karena sebagian perusahaan kerap curang dengan memaksa
pekerja mengundurkan diri. Ia bilang trik itu sudah jadi rahasia umum perusahaan untuk
menghindari pesangon dan memenuhi hak lain pekerja.
Melanggar Aturan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal juga tak
sepakat dengan skema JKP dengan alasan lain, yaitu dimungkinkannya iuran diperoleh dengan
skema mirip "subsidi silang" dari iuran jaminan lain.
Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 11 ayat (2) RPP. Menurut pasal tersebut, iuran JKP
ditetapkan 0,46% dari gaji per bulan. Sekitar 0,22% dibayarkan oleh pemerintah melalui APBN
dan sisanya 0,14% diambil dari JKK dan 0,1% diambil dari JKM.
Konsekuensinya, iuran pekerja yang dibayarkan untuk JKM turun dari 0,3% ke 0,2% karena
0,1%-nya digunakan untuk JKP. Hal serupa juga berlaku bagi JKK.
Said bilang hal itu melanggar aturan.
Pasal 49 ayat (2) UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional menegaskan "subsidi
silang antar program dengan membayarkan manfaat suatu program dari dana program lain tidak
78