Page 155 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 3 AGUSTUS 2020
P. 155
PASAR GELAP MIGRAN ILEGAL
PENYALURAN PMI SECARA ILEGAL KEMBALI MARAK. BP2MI GENCAR MELAKUKAN
PENCEGAHAN DAN PENGGEREBEKAN. SINDIKASI MAFIA PENYALUR PMI DENGAN CARA NON-
PROSEDURAL DIDUGA BANYAK MENYERET OKNUM KEMENTERIAN DAN LEMBAGA.
Dewi Purnama Sari (25 tahun) dan suami, Yanto (24 tahun), akhirnya nekat pergi dari Garut.
Dari kam pung halamannya, mereka menuju Bogor, 17 Maret silam, dengan ha nya berbekal Rp
300.000. Seseorang bernama Mego, yang mengaku sebagai direktur di PT Sentosa Karya
Aditama, menjanjikan bisa membantu pasangan suami istri itu bekerja di luar negeri.
Mimpi bekerja di luar negeri sangat menggiur kan dengan iming-iming penghasilan besar. "Saya
sudah mikir uangnya bisa buat sekolah anak, beli tanah, dan nabung buat bangun rumah," kata
Dewi kepada GATRA, Jumat pekan lalu. Dewi dijanjikan akan menjadi pembantu rumah tangga
(PRT) di Singapura dengan gaji per bulan sekitar Rp 6 juta. Sang suami, akan di salurkan
menjadi buruh perkebunan di Malaysia dengan gaji Rp 4 juta per bulan.
Kontak pertama Dewi dengan Mego terjadi pada 15 Maret 2020 melalui sambungan telepon
seluler. Mego meminta Dewi dan suaminya segera berangkat ke rumah penampungan yang
terletak di Perumahan Permata Cibubur, Jawa Barat, dan di janjikan akan segera berangkat ke
luar negeri.
Tanpa menaruh curiga kepada Mego, Dewi me nyanggupi. Apalagi banyak kemudahan yang
diumbar, seperti dijanjikan seluruh uang transpor tasi menuju penampungan akan diganti.
Belum lagi ia diiming-imingi mendapat uang "fit" sebesar Rp 4,5 juta jika dirinya lolos medical
checkup dan dinyatakan sehat. Dewi pun makin ter giur.
Selang dua hari, Dewi dan Yanto berangkat de ngan modal Rp 300.000 pinjaman dari tetangga.
Menjelang tengah malam, pasutri itu tiba di rumah penampungan bercat kuning, dan di sambut
Mego di depan pintu. Total ada lima orang calon pekerja migran yang ditampung di rumah
berlantai dua itu.
Tanggal 19 Maret, Dewi dan suami diantar staf Mego, Sunoto, melakukan medical checkup di
salah satu rumah sakit di Bekasi. Keesokan harinya, disambung membuat paspor di Kantor
Imigrasi. "Saya datang foto saja, besokannya paspor su dah jadi. Habis itu ngomongin kontrak
juga, di kontrak sih disebut PT Sentosa. Kata Pak Mego, kalau sudah kerja katanya ada potongan
untuk perusahaan," ucap Dewi.
Perinciannya, gaji Dewi akan dipotong perusahaan selama enam bulan pertama. Setiap
bulannya akan diambil sebanyak Rp 5,2 juta, sisa Rp 800.000 untuknya. Adapun suaminya
hanya satu bulan, tetapi semua gajinya masuk ke perusahaan. "Kata Pak Mego, setelah
potongan itu, gaji akan diterima penuh dan langsung dari majikan," kata Dewi.
Dewi dan suaminya menyanggupi aturan main itu. Namun, visa mereka berdua tak kunjung
keluar lantaran pagebluk Covid-19. Sejak itu, hidup pasutri itu jadi tambah sulit. Petaka pun
mulai berdatangan. Tinggal lama serumah dengan Mego dan istri membuat makin menderita.
"Sehari paling makan sekali. Kadang dua kali," katanya.
Namun tidak ada yang dapat mereka lakukan. Uang "fit" yang dijanjikan Mego tak kunjung
dibayar. Ingin kembali ke Garut pun tidak boleh. "Pokoknya, enggak boleh ke mana-mana, kalau
mau ke warung juga harus izin," Dewi meng ungkapkan.
Belakangan, Mego mempekerjakan lima calon pekerja migran yang ditampungnya itu untuk
berjualan bakso. Minggu pertama berjualan, masing-masing dapat upah Rp 300.000. Setelah
itu, tidak ada lagi upah diterima. Yanto pun dipaksa berjualan tahu crispy dan dibayar Rp 10.000
154