Page 442 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 27 AGUSTUS 2020
P. 442
Pada Selasa (25/8/2020), ribuan buruh dari berbagai elemen melakukan unjukrasa di depan
gedung MPR/DPR, Jakarta. Dalam aksinya mereka menuntut membatalkan RUU Omnibus Law
dan menolak adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Mereka pun mengancam akan mengerahkan gelombang aksi massa yang lebih besar jika
tuntutannya tidak dipenuhi.
Ada beberapa alasan yang mendasari penolakan tersebut. Salah satunya, RUU Cipta Kerja ini
memiliki konsekuensi terhadap pekerja. Lantas, apa itu RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja
yang ditolak buruh? Apa itu Omnibus Law? Dikutip dari laman resmi DPR RI, istilah omnibus
berasal dari bahasa latin yang berarti untuk semuanya.
Sementara makna omnibus law artinya satu undang-undang yang sekaligus merevisi beberapa
undang-undang untuk menyasar isu besar di sebuah negara.
Omnibus law yang dikenal dengan UU sapu jagat ini dimaksudkan untuk merampingkan dan
menyederhanakan berbagai regulasi agar lebih tepat sasaran.
Omnibus law itu akan mengubah puluhan UU yang dinilai menghambat investasi, termasuk di
antaranya UU Ketenagakerjaan. Setidaknya, ada 74 UU yang terdampak UU ini.
Selain itu, omnibus law juga dikenal dengan omnibus bill. Omnibus bill artinya sebuah RUU
yang terdiri dari sejumlah bagian terkait tetapi terpisah yang berupaya untuk mengubah
dan/atau mencabut satu atau beberapa undang-undang yang ada dan/atau untuk membuat satu
atau beberapa undang-undang baru.
Omnibus law sendiri hal lazim di negara-negara common law dan kurang dikenal di negara
bersistem civil law seperti Indonesia. Di Amerika Serikat, omnibus law telah digunakan sebagai
UU lintas sektor.
Sedangkan awal gagasan omnibus law sebenarnya dari kekecewaan Presiden Joko Widodo
(Jokowi) lantaran minimnya investasi di Indonesia.
Padahal investasi merupakan salah satu penggerak ekonomi terutama di era ekonomi digital.
Salah satu prediksi Jokowi, regulasi, biroktasi, dan hukum yang berbelit membuat investasi tidak
menarik.
Kesepahaman antara serikat pekerja dan DPR soal RUU Cipta Kerja Dikutip Kontan , Jumat
(21/8/2020), DPR dan konfederasi serikat pekerja atau buruh dalam tim perumusan RUU Cipta
Kerja telah menghasilkan beberapa kesepahaman dalam menyikapi RUU tersebut.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya mengatakan, berkenaan dengan materi
muatan Klaster Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja yang sudah terdapat putusan Mahkamah
Konstitusi, harus didasarkan pada putusan MK.
Putusan tersebut di antaranya, tentang perjanjian kerja waktu tertentu, upah, pesangon,
hubungan kerja, PHK, penyelesaian perselisihan hubungan industrial, jaminan sosial, dan materia
muatan lain yang terkait dengan putusan MK.
"Kemudian, berkenaan dengan sanksi pidana ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja
dikembalikan sesuai ketentuan UU ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003, dengan proses yang
dipertimbangkan secara seksama," kata Willy dikutip Kontan , Jumat (21/8/2020).
Selanjutnya, kata Willy, berkenaan dengan hubungan ketenagakerjaan yang lebih adaptif
terhadap perkembangan industri, maka pengaturannya dapat dimasukan di dalam RUU Cipta
Kerja dan terbuka terhadap masukan publik.
441