Page 82 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 26 OKTOBER 2020
P. 82
Hal utama yang mendorong timbulnya harapan masyarakat untuk dialog adalah proses
pembahasan yang belum sepenuhnya diketahui publik. Sebagian besar responden (59,7 persen)
merasa pembahasan RUU ini belum dilakukan secara demokratis. Artinya, publik menilai ruang
diskusi yang disediakan bagi setiap lapisan masyarakat masih minim dalam pembahasan RUU.
Pandangan ini boleh jadi muncul karena minimnya sosialisasi yang diterima masyarakat selama
pembahasan RUU Cipta Kerja. Apalagi, pembahasan dilakukan saat energi dan perhatian
masyarakat terfokus pada pandemi Covid-19.
Dialog bisa menjadi salah satu solusi di tengah berbagai pandangan yang muncul tentang RUU
Cipta Kerja. Apalagi, terdapat tiga sisi perbedaan pandangan di masyarakat, yakni prioritas
kebijakan, substansi, dan dampak.
Dari aspek kebijakan, publik cukup terbelah dalam memandang skala prioritas pengesahan RUU
Cipta Kerja. Sebanyak 47 persen responden memandang aturan ini mendesak disahkan untuk
membuka lapangan pekerjaan ataupun mempermudah perizinan berusaha.
Sementara 39,7 persen responden menilai RUU Cipta Kerja tak mendesak disahkan dengan
alasan pembahasan belum matang serta kondisi pemerintah dan masyarakat yang masih fokus
pada Covid-19. Dengan nir-pencuplikan jajak pendapat 4,3 persen, pandangan publik dapat
dikatakan terbelah, antara yang memandang mendesak dan tidak mendesak pengesahan RUU
Cipta Kerja.
Dalam ranah substansi, perbedaan pandangan juga ditunjukkan responden, terutama
menyangkut ketenagakerjaan. Perbedaan pandangan terkait bidang ini cukup wajar mengingat
dari seluruh kluster RUU Cipta Kerja, hampir separuh responden (48,5 persen), menaruh
perhatian pada bidang ini. Besarnya perhatian terhadap sektor ini tak terlepas dari perubahan
sejumlah aturan yang menyentuh hak pekerja.
Di kluster ketenagakerjaan, terdapat beberapa hal yang disoroti pekerja, seperti waktu kerja,
durasi kontrak, hingga upah. Beragam aturan terkait hal ini ditanggapi beragam oleh responden.
Sebagian responden sepakat dengan beberapa ketentuan UU No 13/2003 tentang
Ketenagakerjaan, sedangkan sebagian lagi lebih memilih aturan di RUU Cipta Kerja.
Dari aspek waktu kerja, misalnya, RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan maksimal waktu lembur
dari sebelumnya tiga jam sehari atau 14 jam seminggu menjadi 4 jam sehari atau 18 jam
seminggu. Lebih dari separuh responden (54 persen), memilih aturan dalam UU sebelumnya,
yakni batas maksimal lembur tiga jam dalam satu hari. Sementara sepertiga responden lainnya
sepakat dengan aturan lembur yang tertera di RUU Cipta Kerja.
Respons berbeda ditunjukkan terkait perubahan aturan cuti panjang. Di UU Ketenagakerjaan,
pek erja dengan masa kerja enam tahun berhak cuti panjang minimal dua bulan pada tahun
ketujuh dan kedelapan. Pada RUU Cipta Kerja, aturan ini dikembalikan pada perjanjian kerja
atau peraturan perusahaan.
Sebanyak 53,6 persen responden lebih sepakat dengan aturan di RUU Cipta Kerja. Artinya,
perjanjian kerja atau peraturan perusahaan diharapkan mengakomodasi hak cuti panjang
pekerja. Adapun 30,7 persen responden memilih ketentuan cuti panjang diatur di UU seperti
aturan sebelumnya.
Pesangon
Perbedaan pandangan juga terekam terkait hak pesangon. Dalam UU Ketenagakerjaan, setiap
pekerja dengan masa kerja 24 tahun berhak meraih hingga 32 kali upah jika mereka terkena
pemutusan hubungan kerja (PHK). Rinciannya, pekerja akan memperoleh uang pesangon hingga
18 kali upah, uang penghargaan masa kerja 10 kali upah, dan uang penggantian perumahan
81