Page 10 - KLIPING KETENAGAKERJAAN 14 OKTOBER 2020
P. 10

Fajar  Laksono  mengatakan,  pihak  yang  mengajukan  perkara  ke  MK  berarti  memercayakan
              sepenuhnya kepada MK untuk mengadili. Menurut dia, apa pun putusan uji materi terhadap UU
              Ciptaker kelak, semua pihak harus menaati dan menghormatinya. "Jangan kalau putusan MK tak
              sesuai harapan, terus mengatakan atau menuding yang tidak-tidak kepada MK," ujar Fajar.

              Ia  menegaskan,  MK  akan  memproses  perkara  sesuai  ketentuan  hukum  acara  dengan
              persidangan  yang  bersifat  transparan  atau  semua  pihak  dapat  mengakses  persidangan.
              "Pastikan publik turut memonitor jalannya persidangan sekiranya betul akan diajukan perkara ke
              MK," kata Fajar.

              Serahkan ke presiden

              Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin mengatakan, naskah Undang-Undang Cipta Kerja rencananya
              diserahkan ke Presiden Joko Widodo pada Rabu (13/10) setelah disempurnakan dari segi format
              penulisan.  "Sehingga,  nanti  pada  saat  resmi  besok  Undang-Undang  Cipta  Kerja  dikirim  Ke
              Presiden, dalam  hal ini sebagai kepala pemerintahan, maka secara resmi undang-undang ini
              menjadi milik publik," ujar Azis di Kompleks

              Parlemen Senayan, Selasa (13/10).

              Kemudian, menurut Pasal 73 Ayat (1) Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
              Perundang-undangan,  RUU  itu  disahkan  menjadi  undang-undang  oleh  Presiden  dengan
              membubuhkan tanda tangan, dalam  jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
              sejak RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.

              Ia mengeklaim, tidak ada substansi dalam  UU Cipta Kerja yang diubah oleh DPR. Pihaknya
              hanya memperbaiki format penulisan, beberapa di antaranya jenis huruf, margin, atau perbaikan
              dari  salah  ketik.  "Mengenai  jumlah  halaman,  itu  adalah  mekanisme  pengetikan  dan  editing
              tentang kualitas dan besarnya kertas yang diketik," ujar Azis.

              Terkait perbedaan jumlah halaman dari naskah UU Cipta Kerja yang beredar di masyarakat, Azis
              mengatakan hal ini terjadi karena adanya perbedaan jenis kertas antara yang disempurnakan
              oleh  Badan  Legislasi  (Baleg)  DPR  dan  yang  sudah  difi-nalisasi.  "Proses  pengetikannya  di
              Kesetjenan  menggunakan  legalpaper  yang  sudah  menjadi syarat  ketentuan-ketentuan  dalam
              undang-undang," kata politikus Partai Golkar itu.
              Dengan demikian, menurut Azis, naskah final UU Cipta Kerja adalah yang beijumlah sebanyak
              812 halaman. "Hal-hal ini perlu kami sampaikan untuk menyampaikan klarifikasi supaya tidak
              membingungkan khalayak dan masyarakat secara luas," ujar dia.

              Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai, beragam
              versi  naskah  UU  Cipta  Kerja  yang  beredar  di  publik  bukanlah  kebetulan.  "Ketidaktersediaan
              naskah valid yang resmi di ruang publik tampaknya akan memudahkan DPR dan pemerintah
              untuk mengontrol substansi yang mereka inginkan tetap tercantum dalam  naskah final yang
              akan langsung diundangkan nanti," kata Lucius kepada Republika, Selasa (13/10).

              Lucius juga menganggap, sulitnya publik mengakses naskah final UU Cipta Kerja dikhawatirkan
              membuat pemerintah dengan mudahnya menuduh penolak UU Cipta Kerja sebagai penyebar
              hoaksatau informasi sesat. "Ini sih tampaknya akan jadi pilihan aman bagi DPR dan pemerintah
              yang menginginkan penolakan publik atas substansi RUU Ciptaker tak disampaikan melalui aksi
              massa, tetapi melalui jalur judidal review," ungkapnya.

              Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai, inkonsistensi UU
              Cipta  Kerja  menodai  proses  legislasi.  "Inkonsistensi  naskah  RUU  Ciptaker  pascapengesahan
              adalah kejahatan konstitusi, juga pelanggaran berat terhadap proses legislasi," kata Dedi Kumia
              Syah kepada Republika, Selasa (13/10).
                                                            9
   5   6   7   8   9   10   11   12   13   14   15