Page 28 - KLIPING KETENAGAKERJAAN 14 OKTOBER 2020
P. 28
Selain aturan peninggalan Belanda di atas, penempatan pelaut dalam negeri diatur dalam
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 200 Tentang Kepelautan. PP ini dibuat sebagai
pelaksanaan berbagai amanat yang berhubungan dengan kepelautan yang ada dalam UU Nomor
21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Masalahnya, undang-undang ini sudah diganti dengan yang
baru, yakni UU Nomor 17 Tahun 2008.
PKL yang ada menempatkan pelaut sebagai pekerja kontrak. Dalam pola hubungan ini pelaut
sangat lemah posisinya dan akhirnya diperlakukan semena-mena. Perlakuan semena-mena itu
terlihat, misalnya, dalam Kebijakan pengupahan. Sering sekali pelaut menerima upah di bawah
nilai yang tertera dalam PKL. Menariknya, upah yang dicantumkan dalam Perjanjian Kerja Laut
Itu jauh di bawah standar upah minimum yang berlaku di provinsi/wilayah di mana kesepakatan
antara awak kapal dan pemilik kapal dibuat. Pelaut juga tidak diikutsertakan ke dalam program
jaminan sosial yang berlaku.
Padahal, pelaut dikategorikan sebagai pekerja tetap, bukan pekerja musiman. Sehingga, tidak
tepat bila terhadap mereka diberlakukan hubungan kerja waktu tertentu atau PKWT/kontrak.
Mengapa pelaut perlu upah tersendiri atau sektoral? Karena profesi ini tergolong unik, berbeda
dari profesi lainnya.
Kini, kondisi yang tidak menguntungkan itu diperparah dengan pemberlakuan UU Cipta Kerja.
Aturan. ini ternyata tidak menertibkan aturan-3 turan baheula tersebut sehingga harapan pelaut
lokal akan standar upah yang layak makin 'ke laut aja'
27