Page 40 - KLIPING KETENAGAKERJAAN 14 OKTOBER 2020
P. 40
PENGESAHAN UU CIPTA KERJA DITUDING CACAT PROSEDUR
Aksi protes terhadap UU Cipta Kerja akhirnya masuk ke gedung Mahkamah Konstitusi (MK).
Hingga tadi malam, sudah ada dua permohonan judicial review yang masuk ke panitera.
Permohonan pertama diajukan oleh dua pekerja. Yakni, seorangkaryawan kontrak bernama
Dewa Putu Reza dan pekerja freelance Ayu Putri. Gugatan kedua datang dari DPP Federasi
Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSPS)
Berdasar berkas permohonan yang diunggah di laman MK, kedua permohonan menyoal sejumlah
norma pasal klaster ketenagakerjaan UU Ciptaker (Cipta Kerja). Dewa Ayu mempersoalkan pasal
59, pasal 156 ayat (2) dan ayat (3), pasal 79 ayat (2) huruf b, serta pasal 78 ayat (1) huruf b.
Sementara itu, DPP FSPS menyoal pasal 81 angka 15, angka 19, angka 25, angka 29, dan angka
44.
Berbagai pasal tersebut memang bersentuhan langsung dengan kepentingan buruh. Sebab,
mengatur perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), perjanjian pemborongan pekerjaan secara
tertulis, upah minimum pekerja, hingga kewajiban perusahaan membayar uang pesangon atau
uang penghargaan jika terjadi PHK.
"Ya tetap diproses aja sesuai ketentuan, sesuai hukum acara," ujar Juru Bicara MK Fajar Laksono
kemarin (13/10). Dia menjelaskan, dengan belum diundangkannya UU Ciptaker dalam lembaran
negara, sejatinya belum ada objek gugatan. Namun, biasanya pemohon akan memperbaiki
dalam perbaikan berkas pada persidangan pendahuluan.
Hal serupa pernah terjadi saat permohonan gugatan UU KPK. Saat sidang pendahuluan digelar,
UU belum diundangkan dan belum mendapat nomor. "Sidang tetap jalan. Tidak ada perkara
gugur, kecuali pemohon tidakhadir setelah dipanggil secara patut karena tidak serius,"
imbuhnya.
Sementara itu, mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengkritik proses pengesahan UU Ciptaker.
Jika benar draf belum selesai saat disahkan dalam paripurna, dia menilai DPR telah
mempraktikkan cara bernegara yang keliru. "Itu teledor administrasi, tapi bisa jadi serius. Yang
disahkan yang mana? Jadi tidak jelas kari" ujarnya. Menurut Jimly, jika substansinya mengalami
perubahan, DPR harus melakukan paripurna pengesahan ulang. Jika tidak, ahli hukuMKelahiran
Sumatera itu menyebut berbahaya dan bisa jadi preseden buruk di masa depan.
Jimly menyebut, kekeliruan prosedur itu sangat potensial dipersoalkan melalui uji materi di MK.
Yakni, dengan mempersoalkan aspek formilnya. Secara teori, lanjut dia, MK dapat membatalkan
UU tersebut secara keseluruhan. Sebab, dalam prinsip hukum modern, due process oflaw bukan
hanya dalam proses penegakan hukum, namun j uga harus terpenuhi dalam pembentukan
hukum. "Secara teoretis, itu bisa dibatalkan oleh MK, dinyatakan proses pembentukannya tidak
sah," tuturnya
Meski demikian, Jimly menekankan bahwa hal itu sebatas teori. Apakah MK akan membatalkan
atau tidak, bergantung pada cara pandang hakim. Sebab, di MK ada hukum beracara seperti
mendengarkan keterangan dari berbagai pihak untuk melihat p ersoalan lebih utuh. "Soal kans
itu penilaian hakim. Saya nggak boleh mendikte, apalagi saya kan hanya mantan. Jadi, kita nggak
bisa memengaruhi," tuturnya.
Beberapa pakar hukum tata negara berpandangan serupa. Mereka menilai bahwa UU Ciptaker
cacat prosedur. Feri Amsari yang sehari-hari aktif mengajar di Universitas Andalas menyatakan,
sejak awal UU Ciptaker sudah mengabaikan nilai-nilai yang ada di Indonesia. "Sedari awal juga
diduga banyak kepentingannya dan bermasalah dalam pemahaman membentuk undang-
undang," kata dia kepada Jawa Pos kemarin.
39