Page 48 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 1 OKTOBER 2020
P. 48

TOLAK OMNIBUS LAW, FSP RTMM UNGKAP 63 RIBU PEKERJA ROKOK TELAH
              KEHILANGAN PEKERJAAN
              BOGOR  - Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman-Serikat Pekerja Seluruh
              Indonesia (FSP RTMM-SPSI) kembali menegaskan menolak Rancangan Undang-Undang (RUU)
              Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja  yang saat ini masih digodok oleh pemerintah dan Badan
              Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR). Pemerintah mengajukan tujuh substansi pokok
              perubahan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja.

              Ketujuh  substansi  tersebut  adalah  waktu  kerja,  rencana  penggunaan  tenaga  kerja  asing
              (RPTKA),  pekerja  kontrak  atau  perjanjian  kerja  waktu  tertentu  (PKWT),  alih  daya  atau
              outsourcing, upah minimum, pesangon PHK, dan program jaminan kehilangan pekerjaan. "RUU
              Omnibus Law ini memberikan dampak terhadap menurunnya kesejahteraan pekerja Indonesia,"
              ujar Ketua Umum FSP RTMM-SPSI Sudarto, dalam acara Rapimnas FSP RTMM-SPSI, di Bogor,
              Rabu (30/9/2020).

              Pihaknya telah berkirim surat kepada Presiden Jokowi, DPR, dan kementerian terkait, perihal
              RUU  Omnibus  Law sangat  meresahkan  pekerja.  "Kami  mempunyai tiga  keinginan  agar  tidak
              diabaikan pemerintah dalam RUU tersebut. Pertama yakni meminta semua hak dan perlindungan
              tenaga kerja tetap terjaga sebagaimana mestinya," paparnya.

              Keinginan kedua, industri sebagai sawah ladang pekerja diperhatikan dan diberikan kesempatan
              untuk  tumbuh  dan  berkembang  agar  bisa  mensejahterakan  pekerjanya  dan  memperluas
              lapangan kerja.

              (      Ketiga,  peran  serikat  pekerja  sebagai  wakil  pekerja  hendaknya  diberikan  porsi  dalam
              pengambilan  keputusan  kebijakan  ketenagakerjaan  maupun  regulasi  yang  menyangkut
              ketenagakerjaan. "Selama omnibus law tidak menggangu usulan tersebut, kami mendukung tapi
              kalau mengganggu, kami pasti menyatakan menolak," ujar Sudarto.

              Selain RUU Omnibus Law, untuk sektor industri hasil tembakau (IHT) menghadapi regulasi yang
              dinilai menghambat keberlangsungan industri tembakau. Mulai dari kenaikan harga jual eceran
              (HJE),  rencana  revisi  Peraturan  Pemerintah  (PP)  Nomor  109  Tahun  2012,  hingga  rencana
              ekstensifikasi cukai.

              "Kenaikan tarif cukai dan HJE ibarat agenda tahunan yang mencekik Industri Hasil Tembakau
              (IHT). Beleid tersebut berimbas pada pengurangan produksi, khususnya industri sigaret kretek
              tangan (SKT) dan berdampak pada efisiensi tenaga kerja," tutur Sudarto.

              Berdasarkan data FSP RTMM-SPSI selama 10 tahun terakhir, ada 63 ribu pekerja rokok yang
              terpaksa kehilangan pekerjaan. Jumlah industri ini berkurang dari 4.700 perusahaan menjadi
              sekitar 700 di 2019.

              (  Sudarto berharap, pemerintah menjaga kelangsungan IHT dan industri makanan dan minuman
              yang merupakan ladang penghidupan jutaan masyarakat Indonesia.

              "Regulasi  yang  dibuat  pemerintah  hendaknya  juga  mempertimbangkan  kepentingan  semua
              pihak, terutama tenaga kerja dalam memperoleh penghidupan yang layak. Untuk sektor Sigaret
              Kretek Tangan (SKT), sebaiknya mendapatkan perlindungan dari pemerintah karena produk asli
              Indonesia," tegas Sudarto.

              (thm).





                                                           47
   43   44   45   46   47   48   49   50   51   52   53