Page 408 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 9 OKTOBER 2020
P. 408
HNW menambahkan kebiasaan ketatanegaran atau konvensi dalam penyusunan rancangan
undang-undang adalah setiap fraksi dikirimi draft naskah RUU secara utuh yang sudah disepakati
dan selesai dibahas.
Sehingga, lanjutnya, pendapat mini apalagi pendapat akhir yang akan disampaikan pada
pembicaraan akhir tingkat pertama (sebelum dibawa ke rapat paripurna) maupun pada tingkat
akhirnya dalam rapat Paripurna DPR, dapat dilakukan secara benar, maksimal dan komprehensif.
"Selain hukum yang tertulis, kebiasaan atau konvensi ketatanegaraan ini juga seharusnya bisa
menjadi pedoman dalam pembahasan/pwmgambilan keputusan thd Omnibus RUU Cipta Kerja.
Apalagi, RUU ini memiliki dampak kepada lebih dari 78 undang-undang yang berlaku saat ini,"
jelasnya.
Bahkan, kebiasaan tersebut juga sejalan dengan Pasal 163 huruf c dan e Peraturan DPR No. 1
Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Ketentuan tersebut menyebutkan pada pengambilan keputusan
tingkat I terdapat ada acara pembacaan naskah akhir rancangan undang-undang dan
penandatanganan naskah rancangan undang-undang.
Sementara dari segi substansi, Wakil Ketua MPR RI itu menuturkan banyak substansi dalam RUU
itu yang bermasalah, terutama terkait isu investasi asing yang seakan menjadi fokus utama RUU
ini.
"Masalah investasi di Indonesia sebenarnya bukan soal perubahan regulasi, tetapi mengenai
merajalelanya KKN dan inefisiensi birokrasi. Itu seharusnya jadi prioritas yang difokuskan oleh
Pemerintah," kata dia.
HNW menilai RUU ini sangat condong kepada investasi asing dan banyak merugikan kepentingan
kaum pekerja dari warga negara Indonesia, terutama para pekerja atau buruh.
"RUU ini tidak melaksanakan perintah pembukaan UUD NRI 1945, agar negara memprioritaskan
melindungi tumpah darah Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia," imbuhnya.
Tak hanya itu, RUU Cipta Kerja ini dinilai HNW tidak memberikan kepastian hukum sebagai
bagian dari prinsip negara hukum yang dijamin oleh UUD NRI 1945. Karena awalnya RUU ini
dihadirkan untuk memberikan kepastian hukum dan menyederhanakan peraturan, tetapi yang
terjadi justru sebaliknya.
"Tetapi disayangkan sekali, RUU tersebut tidak sesuai dengan tujuannya, karena RUU ini justru
mengamanatkan banyak ketentuannya untuk diatur dalam peraturan pemerintah (PP), sehingga
membuat peraturan tidak menjadi sederhana, dan penuh spekulasi politik, kata putusnya
tergantung kepada pemeintah pemilik kekuasaan politik. Suatu hal yang tak sesuai dengan
prinsip Negara Hukum di Negara demokratis seperti Indonesia," jelasnya.
Dia menyayangkan meski banyak penolakan dari berbagai elemen namun RUU tersebut tetap
disahkan menjadi UU. Apalagi hingga saat rapat paripurna selesai, bahkan hingga saat ini, belum
ada naskah UU Cipta Kerja resmi yang disampaikan ke fraksi-fraksi dan ke publik.
Hal ini, menurutnya mengkhawatirkan dan akan menambah persoalan karena ada potensi bahwa
draft akhir RUU tersebut berbeda dengan yang disepakati di Panja.
Karenanya, dia mendukung bila Presiden Jokowi mempertimbangkan serius masalah ini di tengah
kondisi darurat kesehatan akibat pandemi Covid-19.
Menurutnya sangat bijak bila Presiden Jokowi mempergunakan kewenangan konstitusionalnya
untuk mengakhiri polemik dan menyelamatkan bangsa dan negara dari kegaduhan, dengan
407