Page 106 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 4 JANUARI 2021
P. 106
Hal ini tak lepas dari sikap "menyepelekan" yang dipertontonkan Pemerintah sejak awal pandemi
masuk ke Indonesia. Ditambah dengan berbagai kebijakan yang saling tumpang tindih di internal
Pemerintah, membuat pencegahan virus Covid-19 tidak maksimal.
Selain itu, minimnya ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD) untuk para dokter, perawat, petugas
ambulans dan pekerja kesehatan lainnya menjadi keprihatinan Aspek Indonesia sejak Covid-19
masuk Indonesia.
Dampak pandemi Covid-19 mengakibatkan terjadinya PHK massal yang dilakukan sepihak oleh
perusahaan. Sebagian lagi dirumahkan tanpa dibayar upahnya, serta tidak dibayarkannya
Tunjangan Hari Raya (THR) saat hari Idul Fitri tahun 2020.
Kadin Indonesia mencatat hingga awal Oktober 2020 sudah lebih dari 6,4 juta pekerja mendapat
PHK. Sementara menurut data Kementerian Keuangan, pandemi Covid-19 telah menyebabkan
peningkatan jumlah pengangguran sebanyak 2,67 juta orang. Sehingga per November 2020,
total jumlah pengangguran sudah mencapai 9,77 juta orang.
"Dalam kondisi pandemi saat ini, selayaknya perusahaan tidak hanya mementingkan pendapatan
dan laba perusahaan saja, atau bahkan dengan sengaja mengabaikan aspek kesehatan dan
keselamatan pekerjanya," demikian pernyataan Aspek Indonesia, yang diterima Redaksi, Kamis
(31/12).
Sepanjang 2020, Aspek Indonesia telah mendesak Pemerintah untuk tegas dalam kebijakannya,
agar perusahaan tetap membayar penuh gaji dan THR pekerjanya serta memberikan insentif
khusus dan terbatas pada perusahaan yang terdampak.
Aspek Indonesia juga sangat menyayangkan adanya pengusaha yang terkesan memanfaatkan
pandemi Covid-19 untuk mengurangi bahkan menghilangkan hak normatif pekerja. Termasuk
melakukan PHK sepihak kepada pekerjanya tanpa membayar pesangon sesuai ketentuan
Undang Undang Ketenagakerjaan.
Lebih lanjut, Aspek Indonesia menyoroti kengototan pemerintah untuk mensahkan omnibus law
RUU Cipta Kerja menjadi UU pada 5 Oktober 2020 melalui sidang paripurna DPR RI di tengah
kondisi penyebaran virus Covid-19 yang belum terkendali.
Akhirnya, pada 2 November 2020, RUU tersebut telah sah menjadi Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Padahal, sejak awal proses legislasi, mulai perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan
dan pengundangan, UU Cipta Kerja telah memicu kontroversi dan kritik dari masyarakat.
Terutama terkait prosesnya yang minim partisipasi publik dan tidak melibatkan unsur tripartit
sejak awal penyusunan, bahkan isinya hanya menguntungkan kelompok pengusaha dan
merugikan rakyat.
"Penolakan termasuk dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama,
tokoh agama lintas kepercayaan, mahasiswa, akademisi, aktivis lingkungan, jurnalis, pendidik,
masyarakat adat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan lainnya. Seluruhnya menilai bahwa
UU Cipta Kerja hanya mementingkan kelompok pengusaha dan merugikan rakyat," tambah
keterangan Aspek Indonesia.
Menurut Aspek Indonesia, proses penyusunan dan pengesahan UU Cipta Kerja juga menjadi
sorotan dunia internasional. Bahkan Council of Global Unions yang terdiri dari International Trade
Union Confederation (ITUC), UNI Global Union, IndustriAll, BWI, ITF, EI, IFJ, IUF, PSI selaku
konfederasi dan federasi serikat pekerja tingkat dunia, bersama federasi serikat pekerja
internasional dan serikat pekerja dari berbagai negara seperti Japanese Trade Union
105