Page 32 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 17 MEI 2021
P. 32
Dalam komunikasi ini, ada "perjumpaan" antar pribadi, yang seharusnya tak bisa digantikan
algoritma, kecerdasan buatan (artificial intelligence), robot, mesin, atau teknologi. "Dalam
komunikasi, tak ada yang bisa sepenuhnya menggantikan 'melihat' secara pribadi. Beberapa hal
hanya dapat dipelajari dengan mengalami. Kita tak berkomunikasi hanya dengan kata-kata,
tetapi dengan mata, nada suara, dan gerakan," ungkap Paus Fransiskus.
Praktisi kehumasan Agung Laksamana dalam buku Adapt or Die: Navigating a New World of PR
(Orbit Indonesia, 2020) mengingatkan, pelaku komunikasi sosial tak bisa hanya
menggantungkan pada teknologi informasi dan internet. "Tidak ada gunanya membanjiri jutaan
konten, mendapatkan jutaan klik, tetapi tidak bisa mengubah citra dan persepsi publik terhadap
reputasi perusahaan," tulis Agung. Kredibilitas media, yang tecermin dari profesionalitas pekerja
media, tetap dibutuhkan.
Pekerjaan kaki
Dalam situasi pandemi, Paus Fransiskus menyoroti peran besar dari pekerja media, khususnya
wartawan. "Mari kita renungkan persoalan besar dalam pemberitaan. Ada suara yang sejak lama
prihatin atas risiko digantikannya liputan investigatif yang orisinil dalam koran, televisi, radio,
dan website menjadi liputan berisi narasi tendensius. Pendekatan ini semakin kurang mampu
menangkap kebenaran dari pelbagai hal dan kurang memahami kehidupan konkret banyak
orang, apalagi mengerti fenomena sosial yang lebih serius atau gerakan positif di akar rumput,"
kata Pemimpin Gereja Katolik sedunia itu.
Krisis industri media akibat pandemi dan disrupsi digital saat ini berisiko mengarahkan
pemberitaan yang hanya dirancang di ruang redaksi, di depan komputer, di pusat berita, di
jejaring sosial, tanpa pernah turun ke lapangan. Tanpa "menghabiskan sol sepatu", tanpa
bertemu orang untuk mencari cerita atau memverifikasi situasi tertentu dengan mata kepala
sendiri.
Jika kita tidak membuka diri pada peijumpaan, kita tetap tinggal sebagai penonton dari luar,
meskipun inovasi teknologi mampu membuat kita se-olah-olah tenggelam dalam sebuah realitas
secara langsung. Banyak hal yang tidak akan diketahui jika wartawan tidak pergi ke lapangan.
GP Sindhunata SJ, wartawan senior, dalam buku Belajar Jurnalistik dari Humanisme Harian
Kompas: Harga Sebuah Visi (PT Gramedia Pustaka Utama, 2019) menuliskan, "Hidup wartawan
bukanlah di kantor, tapi di jalanan. Hidup wartawan sesungguhnya ada di jalanan. Wartawan
pada awalnya pekerjaan kaki, baru kemudian pekerjaan otak. Wartawan itu harus mencari obyek
beritanya dengan menggunakan kakinya, dengan berjalan terlebih dahulu, sebelum ia
menggunakan otak dan pikirannya. Secemer-lang apa pun otak seorang wartawan, kalau ia
malas menggunakan kakinya, ia tak akan memperoleh berita autentik."
Saat worldometers.info, Minggu (16/5), mencatat, virus korona baru sudah menginfeksi 163,21
juta warga, dengan tidak kurang 3,38 juta kematian, di 220 negara/kawasan di dunia, pasti tidak
mudah bagi wartawan untuk menghasilkan informasi langsung dari lapangan. Teramat berisiko
bagi jurnalis untuk tetap melakukan "pekerjaan kaki", mendatangi lokasi pandemi misalnya, dan
bisa membuat laporan secara langsung.
Teknologi dan dukungan warga secara langsung bisa membantu, tetapi tetap yang utama ialah
kejujuran dan kebenaran. Pasal 4 Kode Perilaku Wartawan Indonesia, antara lain, menegaskan,
wartawan berkewajiban mengutamakan keselamatan nyawa dibandingkan kepentingan
perburuan berita.
Namun, wartawan juga berkewajiban mengutamakan kepentingan publik. Memberi informasi
yang benar tentang pandemi, termasuk dari lapangan, bertujuan memenuhi kepentingan publik,
sejalan dengan tema Hari Kemerdekaan Pers Sedunia 2021: Informasi sebagai Barang Publik.
31

