Page 18 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 24 NOVEMBER 2020
P. 18
Apa saja poin-poin yang digugat? Ada sejumlah alasan buruh menggugat UU Cipta Kerja ini.
Pertama, berlakunya kembali sistem upah murah. Menurut KSPI, hal itu terlihat dengan adanya
sisipan Pasal 88C Ayat (1) yang menyebutkan gubernur wajib menetapkan upah minimum
provinsi dan Pasal 88C Ayat (2) yang menyebutkan gubernur dapat menetapkan upah minimum
kabupaten/kota dengan syarat tertentu.
Penggunaan frasa 'dapat' dalam penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) sangat
merugikan buruh. Karena penetapan UMK bukan kewajiban, bisa saja gubernur tidak
menetapkan UMK. Hal ini akan mengakibatkan upah murah.
Hal itu ditambah dihilangkannya upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau
kabupaten/kota (UMSK dan UMSP), karena UU No 11 Tahun 2020 menghapus Pasal 89 UU No
13 Tahun 2003.
Kedua, karyawan kontrak seumur hidup. Menurutnya UU No 11 Tahun 2020 menghilangkan
periode batas waktu kontrak yang terdapat di dalam Pasal 59 UU No 13 Tahun 2003. Akibatnya,
pengusaha bisa mengontrak berulang-ulang dan terus-menerus tanpa batas periode
menggunakan PKWT atau karyawan. Dengan demikian, PKWT (karyawan kontrak) bisa
diberlakukan seumur hidup tanpa pernah diangkat menjadi PKWT (karyawan tetap). Hal ini
berarti tidak ada job security atau kepastian bekerja.
Padahal dalam UU No 13 Tahun 2003, PKWT atau karyawan kontrak batas waktu kontraknya
dibatasi maksimal 5 tahun dan maksimal 3 periode kontrak.
Ketiga, outsourcing seumur hidup. Dia menjelaskan UU No 11 Tahun 2020 menghapus Pasal 64
dan 65 UU No 13 Tahun 2003. Selain itu, juga menghapus batasan 5 (lima) jenis pekerjaan yang
terdapat di dalam Pasal 66 yang memperbolehkan penggunaan tenaga kerja outsourcing hanya
untuk cleaning service, catering, security, driver, dan jasa penunjang perminyakan.
Dengan tidak adanya batasan terhadap jenis pekerjaan yang boleh menggunakan tenaga
outsourcing, maka semua jenis pekerjaan di dalam pekerjaan utama atau pekerjaan pokok dalam
sebuah perusahaan bisa menggunakan karyawan outsourcing. Hal ini mengesankan negara
melegalkan tenaga kerja diperjualbelikan oleh agen penyalur. Padahal di dunia internasional,
outsourcing disebut dengan istilah modern slavery (perbudakan modern).
Dengan sistem kerja outsourcing, seorang buruh tidak lagi memiliki kejelasan terhadap upah,
jaminan kesehatan, jaminan pensiun, dan kepastian pekerjaannya. Karena dalam praktik, agen
outsourcing sering berlepas tangan untuk bertanggungjawab terhadap masa depan pekerjanya.
Keempat, nilai pesangon dikurangi. UU No 11 tahun 2020 mengurangi nilai pesangon buruh, dari
32 bulan upah menjadi 25 upah (19 dibayar pengusaha dan 6 bulan melalui Jaminan Kehilangan
Pekerjaan yang dibayarkan BPJS Ketenagakerjaan).
Hal ini dianggap merugikan buruh Indonesia, karena nilai jaminan hari tua dan jaminan pensiun
buruh Indonesia masih kecil dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN. Bandingkan dengan
Malaysia. Di sana, jumlah pesangon antara 5-6 bulan upah. Tetapi nilai iuran jaminan hari tua
dan pensiun buruh Malaysia mencapai 23%. Sedangkan buruh Indonesia nilai JHT dan
pensiunnya hanya 8,7%. Akibat nilai jaminan sosial yang lebih kecil itulah, wajar jika kemudian
negara melindungi buruh melalui skema pesangon yang lebih baik.
Hal lainnya yang disoroti buruh dari UU No 11 Tahun 2020 adalah PHK menjadi mudah dengan
hilangnya frasa 'batal demi hukum' terhadap PHK yang belum ada penetapan dari lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Lalu, TKA buruh kasar cenderung akan mudah masuk ke Indonesia karena kewajiban memiliki
izin tertulis menteri diubah menjadi kewajiban memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing
17