Page 46 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 13 NOVEMBER 2020
P. 46
Dapat dipahami jika Menteri Tenaga Kerja menerbitkan SE Nomor M/11/HK.04/2020 untuk
menjembatani situasi tidak dapat diterapkannya formula kenaikan upah sesuai PP No. 78. Dapat
dikatakan dalam hal ini SE No. M/11/HK.04/2020 merupakan formula jalan tengah tetapi
keputusan untuk menyesuaikan upah 2020 dan 2021 dalam perspektif hukum dan hubungan
industrial sangat rawan dan mengandung persoalan serius.
Setidaknya ada dua persoalan utama atas berlakunya SE No. M/11/HK.04/2020. Pertama,
persoalan hukum terkait dengan formalitas regulasi penyesuaian upah melalui surat edaran.
Kedua, persoalan substansi, yakni menyangkut kebijakan pengupahan yang tidak berubah dari
2020 ke 2021, sehingga berdampak bagi pengusaha maupun pekerja.
Dengan penetapan nilai upah minimum yang sama belum tentu tidak menimbulkan persoalan
hubungan industrial mengingat kondisi perekonomian dalam masa resesi tetapi KHL tidak
berkurang (bahkan cenderung naik).
Persoalan pertama adalah terkait dengan aspek formal dari regulasi penyesuaian upah melalui
SE No. M/11/HK.04/2020. Jika mengacu pada UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas
UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tidak dikenal
produk hukum surat edaran. Hadjon (1996) mendefinisikan surat edaran hanyalah surat
koordinasi antar instansi pemerintah dan tidak memiliki kekuatan mengikat seperti peraturan
perundangan.
Artinya surat edaran itu tidak dapat secara serta merta mengesampingkan PP No. 78.
Selanjutnya jika SE No. M/11/HK.04/2020 dijadikan dasar oleh para kepala daerah dalam
menyusun keputusan terkait upah 2021, kebijakan tersebut akan keliru dan bertentangan
dengan norma dalam PP No. 78 yang masih berlaku dan kini hal itu terbukti dengan adanya
gugatan kepada sejumlah kepala daerah.
Kondisi ini akan rawan menimbulkan perselisihan hubungan industrial, baik dari sisi pekerja
maupun pengusaha. Seharusnya pemerintah memanfaatkan momentum terbitnya UU No. 2
tahun 2020 dan Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2020 untuk melakukan revisi terhadap PP No.
78.
Memang sudah sejak lama, baik kalangan pekerja maupun pengusaha menyerukan revisi PP No.
78. Dengan adanya momentum itu maka revisi terhadap aturan tersebut dapat mengakomodasi
substansi pengupahan pasca pandemi Covid-19 dan juga dapat menyempurnakan substansi
pengupahan lainnya yang perlu disempurnakan dalam PP No. 78.
Pembaharuan PP terkait pengupahan juga sekaligus dapat dijadikan saran sinkronisasi dan
koreksi dari substansi pengupahan pada klaster ketenagakerjaan pada UU Cipta Kerja.
Persoalan kedua terkait dengan substansi pengupahan yang menyamakan antara upah 2020 dan
2021. Jika mengacu pada penjelasan Pasal 44 ayat (2) PP No. 78, formulasi kenaikan upah
dimaksudkan untuk menyesuaikan antara pendapatan pekerja dan KHL yang ditetapkan.
Demikian juga dalam Pasal 88 UU Cipta Kerja, juga menegaskan kembali ketentuan itu.
Dalam hal ini akan sangat rawan perselisihan jika menetapkan penyamaan upah (2020 dan 2021)
tanpa didahului penetapan KHL, karena penetapan komponen upah menjadi tidak memiliki dasar
yang akurat.
Seharusnya pemerintah lebih dulu menetapkan KHL dan selanjutnya menggunakan KHL sebagai
dasar penetapan upah minimum. Revisi PP No. 78 harus mengubah ketentuan Pasal 44 di
dalamnya dengan menambahkan frasa kata atau sekurang-kurangnya berdasarkan angka KHL
tahun yang bersangkutan.
45